Beberapa hari yang lalu, ketika peringatan hari anti korupsi sedunia, Makassar dilanda macet total. saya sedang berada dalam perjalanan pulang kerumah sore itu, saat saya terjebak macet di daerah jl.perintis kemerdekaan. Makassar macet total, kendaraan tak bisa bergerak sama sekali dan saya terjebak di tengah-tengah. Sama sekali tak ada jalan alternative yang bisa digunakan untuk meloloskan diri dari tumpukan kendaraan. Sembari menunggui arus kendaraan bergerak kembali, saya mencoba-coba membuka Fesbuk dan twitter lewat Handphone. Dari facebook dan twitter lah, saya tahu kalau kemacetan ini terjadi hampir di seluruh kota, dan terjadi akibat demonstrasi mahasiswa memperingati hari anti korupsi. Beberapa teman-teman dengan nada kasar menghujat demonstrasi mahasiswa yang menjadi penyebab kemacetan ini.
Namun di tulisan ini, saya tak hendak membahas kemacetan dan demonstrasi itu. Ikut-ikutan mengomentari demonstrasi dan kemacetan itu tidak akan menyelesaikan masalah, malah hanya menghabiskan energy saja. Saya bukannya tak mau sok suci dengan pura-pura tak mengeluh saat terjebak kemacetan di tengah-tengah perjalanan pulang dari kampus yang melelahkan. Namun, daripada terjebak dalam hujatan-hujatan dan keluhan yang sangat tak konstruktif, saya lebih memilih menepikan kendaraan, mematikan mesin, memasang headset, menyetel musik dan mencoba menikmati kemacetan.
Mencoba memahami kemacetan dalam sudut pandang seperti ini memang susah. Tapi saya mencoba melihatnya seperti ini; Kita begitu marah saat terjbak di tengah kemacetan, karena macet telah menghisap waktu-waktu produktif kita. Bagi kita yang hidup di kota-kota besar, dengan tingkat kesibukan dan mobilitas yang begitu tinggi, kehilangan waktu lima menit saja bisa membuat kita begitu marah dan uring-uringan.
Di sela-sela kemacetan itu, saya menyadari beberapa hal. Saya menyadari betapa kehidupan kita setiap hari bergerak begitu cepat. Cobalahkita tengok kehidupan kita tiap hari. Bagi seorang mahasiswa kedokteran (saya kebetulan mahasiswa kedokteran), kita berangkat ke kampus tiap hari jam tujuh pagi, lalu mengikuti kuliah sampai sore, pulang kuliah kita harus mengerjakan berbagai laporan praktikum, tugas-tugas mata kuliah, mengulangi pelajaran, plus mempersiapkan mata kuliah keesokan harinya. Bagi mahasiswa koass jauh lebih sibuk lagi. Bagi mahasiswa di jurusan lain, entahlah sesibuk apa, tapi rasa-rasanya, kesibukannya tak akan jauh berbeda. Bagi yang sudah bekerja, kesibukan pastinya jauh ebh berat lagi. Saya beberapa kali memperhatikan siklus kehidupan harian beberapa senior-senior dan dosen saya dikampus. Dan kehidupannya, rata-rata tidak jauh berbeda satu sama lain, sama-sama sibuk. Berangkat ke Rumah Sakit jam tujuh pagi, pulang sore, lanjut ke klinik hingga jam sepuluh malam. Dan itu berlangsung setiap hari!
Saya kadang-kadang berpikir apakah teman-teman sejawat (atau calon sejawat) lain ini tak pernah jenuh dengan kehidupannnya? Kehidupan kita selama ini (apapun itu, baik kehidupan sekolah, kuliah, kerja, dsb) tiap hari berjalan dalam tempo yang begitu cepat (perhatikan betapa tiap hari kita selalu merasa diburu-buru waktu), begitu penuh (cobalah menghitung waktu istirahat kita tiap hari) dan begitu determinisnya (kita bahkan tak pernah memikirkan betapa ketatnya jadwal siklus hidup kita). Dan kita semua melewati hari-hari yang super sibuk ini tanpa pernah bertanya, seakan-akan memang seperti itulah harusnya kita mengisi hidup.
Memang menjalani hari-hari yang penuh kesibukan itu merupakan suatu hal yang positif, setidaknya bagi masyarakat modern. Data menunjukkan, bahwa semakin maju masyarkat, tingkatkesibukan masyaraktnya makin tinggi, dan rata-rata waktu senggang yang dimiliki penduduknya makin rendah. Namun, kecepatan laju kesibukan kita dalam beberapa hal menimbulkan efek negatif. Data menunjukkan, kesibukan profesi berpengaruh terhadap tingginya tingkat stress, dan kerentanan terhadap tekanan emosional, dan penurunan kekebalan terhadap penyakit bagi masyarakat yang hidup di kota besar.
Di sisi lain, tanpa kita sadari, rutinitas siklus hidup yang begitu cepat dan berulang-ulang tiap hari ini juga menyebabkan kita menjadi robot. Ya, menjadi robot. Bayangkan saja, kita melakukan hal yang sama dan berulang-ulang tiap hari,tanpa jeda, tanpa istrahat dan dalam kecepatan tinggi. Lama-kelamaan rutinitas itu kita lakukan bukan atas dasar kesadaran kita, melainkan karena memang sudah kebiasaan. Akibatnya adalah kita kehilangan kepekaan dan kehilangan kesadaran terhadap apa yang sedang kita lakukan. Kita tak ubahnya robot yang telah diprogram untuk melakukan sesuatu. Bedanya adalah kita bernafas, robot tidak.
Memang agak susah untuk bisa melepaskan diri dari belenggu rutinitas dan kecepatan hidup harian kita. Rutinitas dan belenggu kecepatan hidup ini disetting sedemikian rupa dalam bentuk jadwal kuliah yang padat, tugas kuliah, praktikum, jadwal kerja, kepentingan klien, kepentingan bisnis, dan sebagainya. Dan kita menerima itu semua tanpa pernah menggugat. Kita dirobotisasi sedemikian rupa, dan kita menerimanya begitu saja. Untuk itulah mungkin, di sela-sela kehidupan kita yang super-sibuk itu, kita kadang-kadang butuh kemacetan. Jadi, berhenti menggerutu dan selamat menikmati kemacetan…
baca tulisan ini lebih jauh
Namun di tulisan ini, saya tak hendak membahas kemacetan dan demonstrasi itu. Ikut-ikutan mengomentari demonstrasi dan kemacetan itu tidak akan menyelesaikan masalah, malah hanya menghabiskan energy saja. Saya bukannya tak mau sok suci dengan pura-pura tak mengeluh saat terjebak kemacetan di tengah-tengah perjalanan pulang dari kampus yang melelahkan. Namun, daripada terjebak dalam hujatan-hujatan dan keluhan yang sangat tak konstruktif, saya lebih memilih menepikan kendaraan, mematikan mesin, memasang headset, menyetel musik dan mencoba menikmati kemacetan.
Mencoba memahami kemacetan dalam sudut pandang seperti ini memang susah. Tapi saya mencoba melihatnya seperti ini; Kita begitu marah saat terjbak di tengah kemacetan, karena macet telah menghisap waktu-waktu produktif kita. Bagi kita yang hidup di kota-kota besar, dengan tingkat kesibukan dan mobilitas yang begitu tinggi, kehilangan waktu lima menit saja bisa membuat kita begitu marah dan uring-uringan.
Di sela-sela kemacetan itu, saya menyadari beberapa hal. Saya menyadari betapa kehidupan kita setiap hari bergerak begitu cepat. Cobalahkita tengok kehidupan kita tiap hari. Bagi seorang mahasiswa kedokteran (saya kebetulan mahasiswa kedokteran), kita berangkat ke kampus tiap hari jam tujuh pagi, lalu mengikuti kuliah sampai sore, pulang kuliah kita harus mengerjakan berbagai laporan praktikum, tugas-tugas mata kuliah, mengulangi pelajaran, plus mempersiapkan mata kuliah keesokan harinya. Bagi mahasiswa koass jauh lebih sibuk lagi. Bagi mahasiswa di jurusan lain, entahlah sesibuk apa, tapi rasa-rasanya, kesibukannya tak akan jauh berbeda. Bagi yang sudah bekerja, kesibukan pastinya jauh ebh berat lagi. Saya beberapa kali memperhatikan siklus kehidupan harian beberapa senior-senior dan dosen saya dikampus. Dan kehidupannya, rata-rata tidak jauh berbeda satu sama lain, sama-sama sibuk. Berangkat ke Rumah Sakit jam tujuh pagi, pulang sore, lanjut ke klinik hingga jam sepuluh malam. Dan itu berlangsung setiap hari!
Saya kadang-kadang berpikir apakah teman-teman sejawat (atau calon sejawat) lain ini tak pernah jenuh dengan kehidupannnya? Kehidupan kita selama ini (apapun itu, baik kehidupan sekolah, kuliah, kerja, dsb) tiap hari berjalan dalam tempo yang begitu cepat (perhatikan betapa tiap hari kita selalu merasa diburu-buru waktu), begitu penuh (cobalah menghitung waktu istirahat kita tiap hari) dan begitu determinisnya (kita bahkan tak pernah memikirkan betapa ketatnya jadwal siklus hidup kita). Dan kita semua melewati hari-hari yang super sibuk ini tanpa pernah bertanya, seakan-akan memang seperti itulah harusnya kita mengisi hidup.
Memang menjalani hari-hari yang penuh kesibukan itu merupakan suatu hal yang positif, setidaknya bagi masyarakat modern. Data menunjukkan, bahwa semakin maju masyarkat, tingkatkesibukan masyaraktnya makin tinggi, dan rata-rata waktu senggang yang dimiliki penduduknya makin rendah. Namun, kecepatan laju kesibukan kita dalam beberapa hal menimbulkan efek negatif. Data menunjukkan, kesibukan profesi berpengaruh terhadap tingginya tingkat stress, dan kerentanan terhadap tekanan emosional, dan penurunan kekebalan terhadap penyakit bagi masyarakat yang hidup di kota besar.
Di sisi lain, tanpa kita sadari, rutinitas siklus hidup yang begitu cepat dan berulang-ulang tiap hari ini juga menyebabkan kita menjadi robot. Ya, menjadi robot. Bayangkan saja, kita melakukan hal yang sama dan berulang-ulang tiap hari,tanpa jeda, tanpa istrahat dan dalam kecepatan tinggi. Lama-kelamaan rutinitas itu kita lakukan bukan atas dasar kesadaran kita, melainkan karena memang sudah kebiasaan. Akibatnya adalah kita kehilangan kepekaan dan kehilangan kesadaran terhadap apa yang sedang kita lakukan. Kita tak ubahnya robot yang telah diprogram untuk melakukan sesuatu. Bedanya adalah kita bernafas, robot tidak.
Memang agak susah untuk bisa melepaskan diri dari belenggu rutinitas dan kecepatan hidup harian kita. Rutinitas dan belenggu kecepatan hidup ini disetting sedemikian rupa dalam bentuk jadwal kuliah yang padat, tugas kuliah, praktikum, jadwal kerja, kepentingan klien, kepentingan bisnis, dan sebagainya. Dan kita menerima itu semua tanpa pernah menggugat. Kita dirobotisasi sedemikian rupa, dan kita menerimanya begitu saja. Untuk itulah mungkin, di sela-sela kehidupan kita yang super-sibuk itu, kita kadang-kadang butuh kemacetan. Jadi, berhenti menggerutu dan selamat menikmati kemacetan…