manusia modern dan keterasingan dengan masa lalu


Saya sedang menonton serial katun avatar ketika menulis tulisan ini. Apakah anda pernah menonton seril kartun avatar? Kisah tentang bocah kecil bernama aang bersama dua temannya yang bernama sokka dan katara yang berusaha menyelamatkan dunia. Saya sedang menyaksikan episode ketika aang dan teman-temannya mendatangi reruntuhan kuil udara, tempat suci yang menjadi tempatnya dibesarkan.

Singkat kisah, aang bersama teman-temannya sangat terkejut ketika mendapatkan kuil udara yang harusnya menjadi tempat suci yang dikeramatkan telah diubah menjadi tempat modern yang serba canggih. Ratusan tahun setelah para pengendali udara dibantai di tempat itu oleh Negara api, sekelompok pengembara menemukan tempat itu dan menjadikannya laboratorium bagi penemuan-penemuan penting. Aang marah melihat itu semua. Bagaimana tidak, tempat suci bagi para pengendali udara yang harusnya menjadi tempat bagi para pengendali udara telah menjadi tempat asing bagi mereka.

Para pengembara yang menemukan tempat itu dan mengubahnya menjadi tempat yang lebih modern, juga tentunya punya alasan sendiri. Membiarkan tempat itu menjadi tempat kosong, bukankah jauh lebih tidak berguna dibanding dengan membuatnya tempat bagi penemuan-penemuan yang bermanfaat bagi umat manusia.

Kehidupan manusia modern kadangkala memang membuat kita terasing dari dunia kita sendiri. Di tengah perubahan cara hidup (mulai dari cara kita bekerja, cara kita bersosialisasi, cara kita berinteraksi, cara kita berbicara, sampai cara kita berpakaian), Kita kadang-kadang tidak lagi mampu mengenali jati diri dan lingkungan kita sendiri. Kita menemukan kehidupan kita begitu asing dan jauh. Coba bayangkan jika anda adalah manusia yang berasal dari tahun 80-an. anggaplah anda tertidur selama 20 tahun, dan ketika anda dibangunkan, anda melihat sekeliling anda telah begitu berubah. Anda kebingungan. Anda merasa seakan-akan berada diplanet yang lain. kehidupan yang benar-benar lain. Itulah yang kadang kala terjadi bagi manusia modern yang sedang berada dalam perjalanan menemukan kehidupannya.

Manusia modern yang kehilangan jati diri itu lalu kebingungan dan lalu berusaha mencari jalan bagi keterhubungan dirinya dengan masa lalu. Parahnya, untuk membangun keterhubungan itu kita membangun kuil-kuil peringatan, membangun monumen, membuat kuil. Melalui simbol-simbol semacam tugu itu, kita merasa menemukan keterhubungan dengan jati diri kita di masa lalu.

Di mana-mana kita menemukan tugu-tugu peringatan, setiap tahun digelar pesta peringatan. mulai dari simbol-simbol agama, simbol-simbol kebangsaan, simbol-simbol kesukuan, dan simbol-simbol yang lain. peringatan hari kemerdekaan, peringatan hari raya agama, upacara suku, dan seterusnya menegaskan betapa kita butuh akan simbol-simbl itu. Bahkan belakangan ini, kita lalu membangun simbol yang sifatnya pribadi untuk menegaskan kedudukan kita. Hari kelahiran, hari jadian, hari tunangan dst.

Tapi benarkah symbol-simbol peringatan itu telah menemukan makna yang sebenarnya. Selama ini kita menganggap Kuil-kuil itu sebagai bentuk penghormatan kita kepada para pendahulu. Dengan penuh hikmad kita memperingati peringatan hari-hari besar setiap tahunnya, namun tak sedikit pun makna di balik peringatan itu kita selami.

Setiap peringatan 17-an misalnya, benarkah makna perjuangan dan perlawanan melawan ketidakadilan itu kita hadirkan ke dalam diri kita? Atau jangan-jagan setiap peringatan-peringatan yang kita gelar hanyalah bagian dari euphoria massal masyarakat modern yang memang berjiwa imitatif. Dalam konteks keagamaan, benarkah peringatan tahun baru hijrah, kita maknai sebagai bentuk bagian dari pejuangan membangun kebenaran? Ataukah kita hanya ikut-ikutan?

Harusnya makna masa lalu yang menjadi spirit bagi lahirnya sejarahlah yang kita hadirkan ke dalam kotak baru bernama dunia modern, bukannya dengan menghadirkan barang-barang antik, yang lalu kita anggap sebagai symbol penghormatan terhadap sejarah. Misalnya, dalam konteks dunia modern, harusnya makna proklamasi dimaknai sebgai keberanian mendobrak hegemoni dan bayang-bayang Negara maju.

Jika kita tetap terpatron pada tradisi-tradisi lama namun kehilangan makna peringatan yang sebenarnya, maka kita akan dilindas oleh arus modernisasi yang tak kenal ampun.

Seperti kuil udara yang dibangun oleh para pengendali udara sebagai benteng perlawanan terhadap Negara api, para pengembara yang menemukannya memang mengubah tampilan fisiknya ke bentuk yang jauh lebih modern, namun perubahan tersebut didasari oleh semangat perlawanan terhadap penindas. Bisa dibayangkan, jika para pengembara tetap mengadalkan senjata-senjata klasik melawan Negara api yang teknologinya jauh lebih maju. tentu saja mereka akan kalah.

Kembali ke cerita avatar; Di akhir cerita, aang menggambarkan modernisasi seperti keong yang menemukan cangkang baru. Ketika cangkang yang lama hancur, maka keong mencari cangkang lain yang betuk fisiknya mungkin berbeda, tapi bukankah isinya tetap sama?
0 Responses