Tulisan dari mas Andito. patut untuk dibaca dan didiskusikan
HANYA dengan Al-Quran dan terjemahnya kita sudah dapat memakai dan ‘memelintir’ ayat-ayat suci dengan bebasnya. Masalah kemampuan bahasa arab, asbab al-nuzul dan tetek bengek lainnya ‘tidak dipentingkan’. Memang lazimnya demikian. Toh, semuanya akan berpusing-pusing pada tafsir. Itu bahasa sadisnya saat kita berhadapan dengan majlis pengajian pada umumnya.
Praktik tadi sungguh berbeda saat kita berhadapan dengan naskah Nilai-nilai Dasar Perjuangan/Nilai Identitas Kader (selanjutnya ditulis NDP), sebuah rumusan Islam yang khas Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang didirikan pada 5 Februari 1947. Naskah NDP itu sendiri baru disahkan pada Kongres HMI IX di Malang (Mei 1969).
Untuk memahami, apalagi mengajarkan, NDP kita harus menjalani praktik-praktik ritual tertentu yang tidak sembarang orang dapat melakukannya, mulai dari Basic Training (Latihan Kader I/LK I), pendalaman NDP Pasca LK, Training Up Grading NDP, Senior Course sampai Training Instruktur NDP. Kita juga tidak boleh meninggalkan wirid intensif dengan membaca karya-karya Nurcholish Madjid (Cak Nur).
Pembalseman Cak Nur
Mengapa hal ini dapat terjadi? Banyak alasan dapat dikemukakan. Pertama, Pembalseman Cak Nur secara sistematis. Pengaguman terhadap Cak Nur membuat semua orang merasa rendah diri ketika berhadapan dengan pemikiran-pemikirannya. Penjara imajinasi ini mengkondisikan Cak Nur laksana Tuhan bagi agama HMI. Ia bersabda di puncak gunung dan umat di bawahnya cuma mengaminkannya. Fobia kritik dijadikan alasan utama melarang dan menghakimi orang agar berbuat hal yang sama sebagaimana dirinya.
Padahal, NDP bukan tafsir kitab suci, juga bukan kumpulan hadis. Orang lupa, Cak Nur yang membuat draft NDP di periode 69-an berbeda dengan Cak Nur millenium baik dari sisi usia, intelektualitas, pengalaman dan lain-lain. NDP merupakan sebuah cara pandang Islam ala Cak Nur muda, yang ekstremnya, belum tentu benar. Repotnya, kader HMI sulit memahami evolusi pemikiran seseorang yang dapat berubah seiring waktu, kontemplasi, dan kedewasaan. Adalah hal biasa pemikiran masa lalu tidak lagi sesuai dengan pemikiran masa kini. Tidak ada alasan untuk takut mengkritik Cak Nur muda.
Mengkritisi NDP tidak ada hubungannya sama sekali dengan penghormatan kepada Cak Nur. Cak Nur tetap kita hormati dan terhormat dengan sendirinya ketika pemikiran-pemikirannya turut memperkaya khazanah pemikiran Islam Indonesia. Cak Nur adalah sedikit tokoh yang pemikiran brilyannya didengar betul oleh paling tidak 4 presiden mulai dari Suharto sampai Gus Dur.
Bias Figur dalam Kerja Kolektif
Kedua, bias personalisasi dalam realitas kolektif. Sesungguhnya perumusan NDP dihasilkan dari kerja kolektif, bukan individual. Beberapa bagian NDP jelas dikerjakan oleh kader muda HMI lainnya, seperti Endang Saefuddin Anshari, Saqib Mahmud, M Dawam Rahardjo dan yang lain. Bukan tidak mungkin terjadi benturan ide dan paradigma satu sama lain. Penguapan konsistensi ideologi dapat berbanding lurus pada wilayah ini.
Ketiga, pada saat itu, arus pemikiran keislaman disemarakkan oleh pertentangan yurisprudensi simbolis antara berbagai organisasi Islam tradisional dan modernis; di sisi lain, terbatasnya wacana keislaman alternatif dan referensi —ditandai dengan sangat minimalnya peredaran buku-buku pemikiran keislaman berbahasa Indonesia— turut memainkan peranan yang tidak sedikit pada gaya bahasa, kedalaman bahasan dan kelengkapan tema NDP. Apalagi saat itu HMI sedang berada pada dua arus besar konflik politis-ideologis, dengan CGMI, dan rezim transisional dari Orla ke Orba.
Dengan seluruh fenomena di atas, wacana-wacana keagamaan alternatif —yang mungkin bukan sesuatu yang “luar biasa” di masa kini— seperti mendapat momentum. Pemikiran-pemikiran radikal, Ahmad Wahib misalnya, menjadi sesuatu yang wah diperhadapkan dengan pemikiran keislaman konvensional saat itu.
Pada posisi inilah kita dapat mencoba memahami mengapa dalam suatu kurun waktu yang panjang, NDP menjadi sesuatu yang khas dan sulit untuk dikoreksi. Keterjagaan momentum ini, secara alamiah, terus “dilestarikan” dengan semakin gemilangnya tokoh-tokoh perumus NDP dalam konstelasi pemikiran sosial keagamaan di Indonesia. Hal berbeda mungkin akan kita temukan seandainya para perumus NDP berevolusi sebagai orang-orang kebanyakan sehingga tidak populer.
Akhirnya, kita juga paham mengapa banyak kader tidak memahami naskah NDP, meskipun membaca berulang kali. Ketidakmengertian dinisbahkan pada kebekuan intelektual mereka dan bukan pada naskahnya. Setiap kali selesai membaca yang berakhir dengan kebingungan, setiap kali itu pula kader seakan berkata bahwa ia ternyata begitu bodoh. Dan masih saja bodoh meskipun telah membaca referensi-referensi lainnya.
Pengapuran Intelektualisme
Keempat, pengapuran intelektualisme, akibat semakin menggejalanya wacana politis praktis ketimbang intelektualisme. HMI yang menang perang bharatayudha melawan PKI/CGMI dan anasir Orla lainnya seperti ketiban pulung. Gelombang besar mahasiswa yang mendaftar sebagai kader HMI baru pasca Orla ternyata tidak berdampak signifikan pada pembaruan dan pematangan teologis. Memang format dan materi perkaderan senantiasa terus berkembang, tapi semua itu tidak dibarengi dengan peninjauan ulang seluruh nilai yang menjadi landasan ideologis HMI.
Perkembangan struktural konstelasi politik dan kesibukan lainnya membuat kader-alumni HMI boleh dikata tidak dapat lagi mencurahkan sedikit perhatian kepada materi-materi utama perkaderan yang mendasar. Bahkan fenomena bombastis di atas dijadikan salah satu alasan untuk tidak menoreh tinta merah pada materi ideologi. Apalagi yang harus diutak-atik, kalau dengan keadaan sekarang saja HMI sudah dapat besar, kader-kadernya banyak yang sudah jadi orang dan menjadi motor di banyak wilayah strategis?
Alih-alih memperbarui, keberadaan NDP diperkokoh dengan polesan dalil-dalil ayat suci sebagai lampiran untuk mencuatkan dimensi keagamaan naskah tersebut. Kongres diadakan sebagai legitimasi naskah. Padahal, perangkat hukum yang menopang bagi kemungkinan diadakannnya sebuah rekonstruksi naskah ideologi sudah cukup memadai.
Lengkaplah sudah mistifikasi NDP. Ia merupakan naskah suci, sakral sehingga anti kritik. Padahal, sakralisasi pada segala sesuatu selain Allah adalah praktik kemusyrikan.
Mengawali Rekonstruksi
Sebagai nilai dasar perjuangan, NDP membutuhkan unsur-unsur penyempurna bagi tumbuhnya sebuah ideologi/paradigma/filsafat hidup/pandangan dunia: Sistematika yang jelas dalam penalaran rasional (filosofis), kemudahan aplikasi teori praktis (sosiologis), efek perubahan individu dan masyarakat.
Penguatan dimensi kemanusiaan yang ada di NDP jelas membawa dampak signifikan. Di satu sisi ia membawa dengan genial pesan-pesan peradaban, agar kader HMI tidak gamang dan takut menghadapi perubahan zaman. Di sisi lain, materi NDP menjauh dari pendekatan filosofis, sesuatu yang selayaknya menjadi titik sentral ideologi. Pendekatan sosiologis membuat Islam ditampilkan sebagai ‘Kehadiran’ yang mendahului ‘Kebenaran’, dasar teologi Kristen, bukan ‘Kebenaran’ mendahului ‘Kehadiran’.
Aspek filosofis di NDP, kalaulah ada, juga berputar-putar pada paradigma Calvinian. Kerancuan aspek filosofis dan sosiologis ketika berhadapan dengan teologi membuat kader semakin percaya bahwa tiada keterkaitan sama sekali antara ruang publik (rasionalisme) dan ruang privat (keimanan). Alih-alih mewartakan kebenaran Islam, pemberian materi NDP menggiring kader pada paradigma Kristen (pada Bab Ketuhanan, Bab Kemanusiaan dan Bab Ilmu Pengetahuan) dan Marxian (pada Bab Individu-Masyarakat dan Bab Keadilan Sosial Ekonomi).
Kesenjangan inilah yang menyebabkan mengapa instruktur NDP cenderung berbeda visi dan pemahaman satu sama lain. Ketidakmampuan memahami konteks historis yang melatarbelakangi perumusan NDP; ketidakmampuan memahami paradigma yang dipakai para perumus; ketidaktahuan batasan liberalisasi NDP; kurangnya referensi perbandingan dalam memahami NDP; dan kurangnya ilmu alat yang dimiliki pemateri NDP dapat dijadikan kambing hitam susulan.
Efeknya, sebagian pemateri NDP, terutama pada LK I, membawa materi seperti pengajian yang monolitik dan dogmatik. Alih-alih menggiring kader menuju kesadaran teologis, instruktur malah membuat kader terhalusinasi pada ghirah kebablasan.
Pemateri NDP cenderung membawa materi dengan paradigmanya masing-masing. Cak Nur difitnah untuk membenarkan keyakinan pemateri. Perlu dicurigai bahwa banyak pemateri yang belum bersentuhan dengan pemikiran-pemikiran Cak Nur dan studi banding dengan referensi lain yang berhubungan. Di sisi lain, studi kritis NDP dimentahkan oleh alasan bahwa segala penjelasan tentang nasklah ideologi tahun 1969 telah ada di buku-buku Cak Nur yang baru beredar tahun 1990an. Ini tidak logis. Tiada relevansi apa pun antara buku Cak Nur dengan NDP qua NDP.
Nampaknya banyak pihak yang tidak bisa membedakan dengan jernih antara rekonstruksi dan dekonstruksi. Sedari awal tulisan ini hanyalah kritik terhadap pondasi bangunan NDP Cak Nur yang lebih nampak sebagai ‘Natsir Muda’. Namun penulis tetap yakin bahwa nilai-nilai pengubah/perbaikannya masih dapat dilihat pada evolusi pemikiran Cak Nur setelah ia semakin kosmopolit dan universal.
Pada tingkat struktural, bias ideologi berkembang semakin kompleks ketika organisasi dituntut agar memberikan kejelasan arah kaderisasi. Pada satu aspek HMI telah berhasil membentuk kader yang mempunyai karakter ideologis tertentu. Namun pada aspek lain, sebagaimana telah diterangkan di atas, HMI boleh dikata telah gagal membentuk format keislaman yang utuh.
Menjawab keparsialan NDP, instruktur yang mempunyai dalil kuat untuk menolak isi materi NDP Cak Nur bermain dengan kerangkanya sendiri. Pada aspek dinamika intelektual, ia layak diacungi jempol karena mampu membuat sebuah konsep alternatif. Pada aspek struktural, ia dikategorikan menyimpang dari kurikulum baku dan melanggar aturan main organisasi. Apalagi yang ‘didekonstruksi’ adalah materi ideologi.
Menyusun Agenda Rekonstruksi
Niat awal yang melandasi pembuatan rekonstruksi ini adalah bagaimana kita melihat wacana perubahan dalam menatap (naskah) ideologi. Biarkanlah semua pihak menimbang NDP dengan sudut pandangnya masing-masing. Toh semuanya akan dinilai secara objektif lagi proporsional untuk mencari yang terbaik. Dari mana pun datangnya hikmah itu. Yang penting, tidak boleh ada satu pun wilayah yang bebas kritik. Namun hendaknya perlu diingat bahwa sebuah rumusan ideologi senantiasa berisi konsep-konsep umum, bukan semacam juklak atau juknis.
Sudah barang tentu setiap draft tidak boleh disebut sempurna. Masih banyak hal yang perlu dikoreksi, diperjelas dan disempurnakan. Masih banyak tema dan bahasan yang perlu ditambah. Draft rekonstruksi ini juga tidak menafikan keberadaan draft lain yang dibuat oleh perorangan dan/atau institusi lain. Semakin banyak konseptor akan semakin baik. Maka dari itu, sangat disayangkan apabila ada pihak yang menganggap rekonstruksi diarahkan atau dimonopoli oleh seseorang/kelompok tertentu.
Satu hal lain yang perlu dicermati adalah keberadaan senior/instruktur ideologi di daerah masing-masing. Lepas dari kadar keilmuan masing-masing, menurut penulis, mereka layak dikunjungi untuk dimintakan urun rembuknya. Biar bagaimana pun, mereka punya kontribusi tak ternilai bagi perkaderan HMI secara nasional.
Dengan iklim politis HMI yang kental, keterlibatan mereka akan menguatkan rekonstruksi secara konseptual dan faktual, sehingga tidak akan ada ungkapan sinis kepada perekonstruksi, “Anak kemarin mau menandingi Cak Nur?” tentu kita sudah tahu kesalahan logika dari ungkapan melankolis tersebut. Namun dalam ‘dunia politik’ HMI, ketidaksetujuan sebagian kalangan bisa menjadi duri. Alih-alih bicara ideologi, praktiknya adalah saling jegal setiap ide baru. Bukan rahasia, banyak pihak yang tidak setuju atas ide rekonstruksi NDP hanya karena dirinya tidak merasa dilibatkan dalam perumusannya.
Membentuk Tim
Sebuah usulan konseptual cenderung mudah diterima ketika hadir sebagai sebuah kebutuhan kolektif dalam suasana yang kondusif. Pada kondisi yang tidak tepat sebuah tawaran alternatif dari segelintir individu dan/atau institusi, misalnya menjelang suksesi, dapat didramatisasi-dipolitisasi-dinilai secara a priori.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, sebuah tim yang mengakomodasi seluruh perumus dari level komisariat hingga PB perlu dibentuk. Rumusan-rumusan yang terseleksi secara konseptual ini (seleksi I) sebaiknya diuji coba dalam sebuah pilot project yang akan dievaluasi dalam forum khusus (seleksi II) dan diuji kembali (seleksi III). Setelah konsep ini utuh, draft rekonstruksi NDP dapat diajukan dalam Kongres mendatang.
Dengan demikian, gerakan rekonstruksi NDP dapat dilakukan dengan gerakan kultural dan struktural. Pada satu sisi kita mengikuti ketentuan dan hierarki organisasi dengan keputusan akhir tetap di Kongres. Di sisi lain penguatan basis (komisariat/korkom/cabang) tetap dilakukan. Tanpa basa-basi birokrasi, internalisasi NDP dapat dilakukan sedini mungkin. Praktik ini secara alamiah pula dapat dianggap sebagai proses pembentukan Lembaga Pengelola Latihan (LPL) di setiap insitusi cabang, kalau memang belum ada.
Pasca rekonstruksi ideologi, kita perlu juga memikirkan rekonstruksi perkaderan mengingat perubahan materi berimplikasi signifikan pada pembumian materi. NDP yang selama ini diformat dalam satu naskah dapat dikembangkan menjadi tiga naskah dengan titik fokus dan berat yang berbeda mengikuti tingkatan perkaderan formal: basic (LK I), intermediate (LK II) dan advance (LK III).
Merangkai Mimpi
Itu harapan idealnya. Jangan berharap banyak bahwa pada akhir pelaksanaan rekonstruksi berikut segala pelatihan percontohannya akan menghasilkan kader-kader yang menjadi pemikir tercerahkan (rausyan fikr). Eksplorasi wacana ini bukanlah indoktrinasi mekanis seperti yang dilakukan banyak harakah, yang mengalami split personality, menuhankan dirinya karena bingung membedakan pendapatnya dengan ayat-ayat Tuhan yang ditentengnya ke sana ke mari. Juga bukan seperti kebanyakan aktivis rasialis himpunan mahasiswa yang mengalami post-power syndrome, menganggap kebenaran hanya datang dari duli senior.
Pada dirinya sendiri, NDP bukanlah himpunan peraturan operasional yang menawarkan tindakan praktis. Tidak seperti materi-materi informatif lainnya, materi NDP kering dan abstrak sehingga tidak menarik minat banyak kader untuk mengkajinya. Dengan demikian, adalah hal wajar kalau hanya ada segelintir orang yang berhasil tersaring, syukur-syukur menjadi pemateri, dari ramaian peserta kajian atau pelatihan.
Setelah seluruh aktivitas rekonstruksi ini berjalan, boleh kita bermimpi tentang terbentuknya kader yang dapat menggabungkan pengetahuan tradisional dan modern; yang menghimpun nilai-nilai kebijakan secara harmonis. Kader seperti ini tiada pernah meninggalkan dan melupakan dimensi transenden; mempunyai pemahaman yang integral seputar diri/manusia-alam-Tuhan; tidak mudah terseret pada paradigma politis, serta tidak mudah terhegemoni oleh negara. Boleh kita mengharap kader yang menjadi cahaya, yang terang dengan sendirinya dan menerangi segala sesuatu di luar dirinya. Rekonstruksi ideologi adalah sebuah tindakan wajar sebuah organisasi kader ketika ingin mereposisi diri pada dunia yang terus berubah. [andito]
HANYA dengan Al-Quran dan terjemahnya kita sudah dapat memakai dan ‘memelintir’ ayat-ayat suci dengan bebasnya. Masalah kemampuan bahasa arab, asbab al-nuzul dan tetek bengek lainnya ‘tidak dipentingkan’. Memang lazimnya demikian. Toh, semuanya akan berpusing-pusing pada tafsir. Itu bahasa sadisnya saat kita berhadapan dengan majlis pengajian pada umumnya.
Praktik tadi sungguh berbeda saat kita berhadapan dengan naskah Nilai-nilai Dasar Perjuangan/Nilai Identitas Kader (selanjutnya ditulis NDP), sebuah rumusan Islam yang khas Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang didirikan pada 5 Februari 1947. Naskah NDP itu sendiri baru disahkan pada Kongres HMI IX di Malang (Mei 1969).
Untuk memahami, apalagi mengajarkan, NDP kita harus menjalani praktik-praktik ritual tertentu yang tidak sembarang orang dapat melakukannya, mulai dari Basic Training (Latihan Kader I/LK I), pendalaman NDP Pasca LK, Training Up Grading NDP, Senior Course sampai Training Instruktur NDP. Kita juga tidak boleh meninggalkan wirid intensif dengan membaca karya-karya Nurcholish Madjid (Cak Nur).
Pembalseman Cak Nur
Mengapa hal ini dapat terjadi? Banyak alasan dapat dikemukakan. Pertama, Pembalseman Cak Nur secara sistematis. Pengaguman terhadap Cak Nur membuat semua orang merasa rendah diri ketika berhadapan dengan pemikiran-pemikirannya. Penjara imajinasi ini mengkondisikan Cak Nur laksana Tuhan bagi agama HMI. Ia bersabda di puncak gunung dan umat di bawahnya cuma mengaminkannya. Fobia kritik dijadikan alasan utama melarang dan menghakimi orang agar berbuat hal yang sama sebagaimana dirinya.
Padahal, NDP bukan tafsir kitab suci, juga bukan kumpulan hadis. Orang lupa, Cak Nur yang membuat draft NDP di periode 69-an berbeda dengan Cak Nur millenium baik dari sisi usia, intelektualitas, pengalaman dan lain-lain. NDP merupakan sebuah cara pandang Islam ala Cak Nur muda, yang ekstremnya, belum tentu benar. Repotnya, kader HMI sulit memahami evolusi pemikiran seseorang yang dapat berubah seiring waktu, kontemplasi, dan kedewasaan. Adalah hal biasa pemikiran masa lalu tidak lagi sesuai dengan pemikiran masa kini. Tidak ada alasan untuk takut mengkritik Cak Nur muda.
Mengkritisi NDP tidak ada hubungannya sama sekali dengan penghormatan kepada Cak Nur. Cak Nur tetap kita hormati dan terhormat dengan sendirinya ketika pemikiran-pemikirannya turut memperkaya khazanah pemikiran Islam Indonesia. Cak Nur adalah sedikit tokoh yang pemikiran brilyannya didengar betul oleh paling tidak 4 presiden mulai dari Suharto sampai Gus Dur.
Bias Figur dalam Kerja Kolektif
Kedua, bias personalisasi dalam realitas kolektif. Sesungguhnya perumusan NDP dihasilkan dari kerja kolektif, bukan individual. Beberapa bagian NDP jelas dikerjakan oleh kader muda HMI lainnya, seperti Endang Saefuddin Anshari, Saqib Mahmud, M Dawam Rahardjo dan yang lain. Bukan tidak mungkin terjadi benturan ide dan paradigma satu sama lain. Penguapan konsistensi ideologi dapat berbanding lurus pada wilayah ini.
Ketiga, pada saat itu, arus pemikiran keislaman disemarakkan oleh pertentangan yurisprudensi simbolis antara berbagai organisasi Islam tradisional dan modernis; di sisi lain, terbatasnya wacana keislaman alternatif dan referensi —ditandai dengan sangat minimalnya peredaran buku-buku pemikiran keislaman berbahasa Indonesia— turut memainkan peranan yang tidak sedikit pada gaya bahasa, kedalaman bahasan dan kelengkapan tema NDP. Apalagi saat itu HMI sedang berada pada dua arus besar konflik politis-ideologis, dengan CGMI, dan rezim transisional dari Orla ke Orba.
Dengan seluruh fenomena di atas, wacana-wacana keagamaan alternatif —yang mungkin bukan sesuatu yang “luar biasa” di masa kini— seperti mendapat momentum. Pemikiran-pemikiran radikal, Ahmad Wahib misalnya, menjadi sesuatu yang wah diperhadapkan dengan pemikiran keislaman konvensional saat itu.
Pada posisi inilah kita dapat mencoba memahami mengapa dalam suatu kurun waktu yang panjang, NDP menjadi sesuatu yang khas dan sulit untuk dikoreksi. Keterjagaan momentum ini, secara alamiah, terus “dilestarikan” dengan semakin gemilangnya tokoh-tokoh perumus NDP dalam konstelasi pemikiran sosial keagamaan di Indonesia. Hal berbeda mungkin akan kita temukan seandainya para perumus NDP berevolusi sebagai orang-orang kebanyakan sehingga tidak populer.
Akhirnya, kita juga paham mengapa banyak kader tidak memahami naskah NDP, meskipun membaca berulang kali. Ketidakmengertian dinisbahkan pada kebekuan intelektual mereka dan bukan pada naskahnya. Setiap kali selesai membaca yang berakhir dengan kebingungan, setiap kali itu pula kader seakan berkata bahwa ia ternyata begitu bodoh. Dan masih saja bodoh meskipun telah membaca referensi-referensi lainnya.
Pengapuran Intelektualisme
Keempat, pengapuran intelektualisme, akibat semakin menggejalanya wacana politis praktis ketimbang intelektualisme. HMI yang menang perang bharatayudha melawan PKI/CGMI dan anasir Orla lainnya seperti ketiban pulung. Gelombang besar mahasiswa yang mendaftar sebagai kader HMI baru pasca Orla ternyata tidak berdampak signifikan pada pembaruan dan pematangan teologis. Memang format dan materi perkaderan senantiasa terus berkembang, tapi semua itu tidak dibarengi dengan peninjauan ulang seluruh nilai yang menjadi landasan ideologis HMI.
Perkembangan struktural konstelasi politik dan kesibukan lainnya membuat kader-alumni HMI boleh dikata tidak dapat lagi mencurahkan sedikit perhatian kepada materi-materi utama perkaderan yang mendasar. Bahkan fenomena bombastis di atas dijadikan salah satu alasan untuk tidak menoreh tinta merah pada materi ideologi. Apalagi yang harus diutak-atik, kalau dengan keadaan sekarang saja HMI sudah dapat besar, kader-kadernya banyak yang sudah jadi orang dan menjadi motor di banyak wilayah strategis?
Alih-alih memperbarui, keberadaan NDP diperkokoh dengan polesan dalil-dalil ayat suci sebagai lampiran untuk mencuatkan dimensi keagamaan naskah tersebut. Kongres diadakan sebagai legitimasi naskah. Padahal, perangkat hukum yang menopang bagi kemungkinan diadakannnya sebuah rekonstruksi naskah ideologi sudah cukup memadai.
Lengkaplah sudah mistifikasi NDP. Ia merupakan naskah suci, sakral sehingga anti kritik. Padahal, sakralisasi pada segala sesuatu selain Allah adalah praktik kemusyrikan.
Mengawali Rekonstruksi
Sebagai nilai dasar perjuangan, NDP membutuhkan unsur-unsur penyempurna bagi tumbuhnya sebuah ideologi/paradigma/filsafat hidup/pandangan dunia: Sistematika yang jelas dalam penalaran rasional (filosofis), kemudahan aplikasi teori praktis (sosiologis), efek perubahan individu dan masyarakat.
Penguatan dimensi kemanusiaan yang ada di NDP jelas membawa dampak signifikan. Di satu sisi ia membawa dengan genial pesan-pesan peradaban, agar kader HMI tidak gamang dan takut menghadapi perubahan zaman. Di sisi lain, materi NDP menjauh dari pendekatan filosofis, sesuatu yang selayaknya menjadi titik sentral ideologi. Pendekatan sosiologis membuat Islam ditampilkan sebagai ‘Kehadiran’ yang mendahului ‘Kebenaran’, dasar teologi Kristen, bukan ‘Kebenaran’ mendahului ‘Kehadiran’.
Aspek filosofis di NDP, kalaulah ada, juga berputar-putar pada paradigma Calvinian. Kerancuan aspek filosofis dan sosiologis ketika berhadapan dengan teologi membuat kader semakin percaya bahwa tiada keterkaitan sama sekali antara ruang publik (rasionalisme) dan ruang privat (keimanan). Alih-alih mewartakan kebenaran Islam, pemberian materi NDP menggiring kader pada paradigma Kristen (pada Bab Ketuhanan, Bab Kemanusiaan dan Bab Ilmu Pengetahuan) dan Marxian (pada Bab Individu-Masyarakat dan Bab Keadilan Sosial Ekonomi).
Kesenjangan inilah yang menyebabkan mengapa instruktur NDP cenderung berbeda visi dan pemahaman satu sama lain. Ketidakmampuan memahami konteks historis yang melatarbelakangi perumusan NDP; ketidakmampuan memahami paradigma yang dipakai para perumus; ketidaktahuan batasan liberalisasi NDP; kurangnya referensi perbandingan dalam memahami NDP; dan kurangnya ilmu alat yang dimiliki pemateri NDP dapat dijadikan kambing hitam susulan.
Efeknya, sebagian pemateri NDP, terutama pada LK I, membawa materi seperti pengajian yang monolitik dan dogmatik. Alih-alih menggiring kader menuju kesadaran teologis, instruktur malah membuat kader terhalusinasi pada ghirah kebablasan.
Pemateri NDP cenderung membawa materi dengan paradigmanya masing-masing. Cak Nur difitnah untuk membenarkan keyakinan pemateri. Perlu dicurigai bahwa banyak pemateri yang belum bersentuhan dengan pemikiran-pemikiran Cak Nur dan studi banding dengan referensi lain yang berhubungan. Di sisi lain, studi kritis NDP dimentahkan oleh alasan bahwa segala penjelasan tentang nasklah ideologi tahun 1969 telah ada di buku-buku Cak Nur yang baru beredar tahun 1990an. Ini tidak logis. Tiada relevansi apa pun antara buku Cak Nur dengan NDP qua NDP.
Nampaknya banyak pihak yang tidak bisa membedakan dengan jernih antara rekonstruksi dan dekonstruksi. Sedari awal tulisan ini hanyalah kritik terhadap pondasi bangunan NDP Cak Nur yang lebih nampak sebagai ‘Natsir Muda’. Namun penulis tetap yakin bahwa nilai-nilai pengubah/perbaikannya masih dapat dilihat pada evolusi pemikiran Cak Nur setelah ia semakin kosmopolit dan universal.
Pada tingkat struktural, bias ideologi berkembang semakin kompleks ketika organisasi dituntut agar memberikan kejelasan arah kaderisasi. Pada satu aspek HMI telah berhasil membentuk kader yang mempunyai karakter ideologis tertentu. Namun pada aspek lain, sebagaimana telah diterangkan di atas, HMI boleh dikata telah gagal membentuk format keislaman yang utuh.
Menjawab keparsialan NDP, instruktur yang mempunyai dalil kuat untuk menolak isi materi NDP Cak Nur bermain dengan kerangkanya sendiri. Pada aspek dinamika intelektual, ia layak diacungi jempol karena mampu membuat sebuah konsep alternatif. Pada aspek struktural, ia dikategorikan menyimpang dari kurikulum baku dan melanggar aturan main organisasi. Apalagi yang ‘didekonstruksi’ adalah materi ideologi.
Menyusun Agenda Rekonstruksi
Niat awal yang melandasi pembuatan rekonstruksi ini adalah bagaimana kita melihat wacana perubahan dalam menatap (naskah) ideologi. Biarkanlah semua pihak menimbang NDP dengan sudut pandangnya masing-masing. Toh semuanya akan dinilai secara objektif lagi proporsional untuk mencari yang terbaik. Dari mana pun datangnya hikmah itu. Yang penting, tidak boleh ada satu pun wilayah yang bebas kritik. Namun hendaknya perlu diingat bahwa sebuah rumusan ideologi senantiasa berisi konsep-konsep umum, bukan semacam juklak atau juknis.
Sudah barang tentu setiap draft tidak boleh disebut sempurna. Masih banyak hal yang perlu dikoreksi, diperjelas dan disempurnakan. Masih banyak tema dan bahasan yang perlu ditambah. Draft rekonstruksi ini juga tidak menafikan keberadaan draft lain yang dibuat oleh perorangan dan/atau institusi lain. Semakin banyak konseptor akan semakin baik. Maka dari itu, sangat disayangkan apabila ada pihak yang menganggap rekonstruksi diarahkan atau dimonopoli oleh seseorang/kelompok tertentu.
Satu hal lain yang perlu dicermati adalah keberadaan senior/instruktur ideologi di daerah masing-masing. Lepas dari kadar keilmuan masing-masing, menurut penulis, mereka layak dikunjungi untuk dimintakan urun rembuknya. Biar bagaimana pun, mereka punya kontribusi tak ternilai bagi perkaderan HMI secara nasional.
Dengan iklim politis HMI yang kental, keterlibatan mereka akan menguatkan rekonstruksi secara konseptual dan faktual, sehingga tidak akan ada ungkapan sinis kepada perekonstruksi, “Anak kemarin mau menandingi Cak Nur?” tentu kita sudah tahu kesalahan logika dari ungkapan melankolis tersebut. Namun dalam ‘dunia politik’ HMI, ketidaksetujuan sebagian kalangan bisa menjadi duri. Alih-alih bicara ideologi, praktiknya adalah saling jegal setiap ide baru. Bukan rahasia, banyak pihak yang tidak setuju atas ide rekonstruksi NDP hanya karena dirinya tidak merasa dilibatkan dalam perumusannya.
Membentuk Tim
Sebuah usulan konseptual cenderung mudah diterima ketika hadir sebagai sebuah kebutuhan kolektif dalam suasana yang kondusif. Pada kondisi yang tidak tepat sebuah tawaran alternatif dari segelintir individu dan/atau institusi, misalnya menjelang suksesi, dapat didramatisasi-dipolitisasi-dinilai secara a priori.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, sebuah tim yang mengakomodasi seluruh perumus dari level komisariat hingga PB perlu dibentuk. Rumusan-rumusan yang terseleksi secara konseptual ini (seleksi I) sebaiknya diuji coba dalam sebuah pilot project yang akan dievaluasi dalam forum khusus (seleksi II) dan diuji kembali (seleksi III). Setelah konsep ini utuh, draft rekonstruksi NDP dapat diajukan dalam Kongres mendatang.
Dengan demikian, gerakan rekonstruksi NDP dapat dilakukan dengan gerakan kultural dan struktural. Pada satu sisi kita mengikuti ketentuan dan hierarki organisasi dengan keputusan akhir tetap di Kongres. Di sisi lain penguatan basis (komisariat/korkom/cabang) tetap dilakukan. Tanpa basa-basi birokrasi, internalisasi NDP dapat dilakukan sedini mungkin. Praktik ini secara alamiah pula dapat dianggap sebagai proses pembentukan Lembaga Pengelola Latihan (LPL) di setiap insitusi cabang, kalau memang belum ada.
Pasca rekonstruksi ideologi, kita perlu juga memikirkan rekonstruksi perkaderan mengingat perubahan materi berimplikasi signifikan pada pembumian materi. NDP yang selama ini diformat dalam satu naskah dapat dikembangkan menjadi tiga naskah dengan titik fokus dan berat yang berbeda mengikuti tingkatan perkaderan formal: basic (LK I), intermediate (LK II) dan advance (LK III).
Merangkai Mimpi
Itu harapan idealnya. Jangan berharap banyak bahwa pada akhir pelaksanaan rekonstruksi berikut segala pelatihan percontohannya akan menghasilkan kader-kader yang menjadi pemikir tercerahkan (rausyan fikr). Eksplorasi wacana ini bukanlah indoktrinasi mekanis seperti yang dilakukan banyak harakah, yang mengalami split personality, menuhankan dirinya karena bingung membedakan pendapatnya dengan ayat-ayat Tuhan yang ditentengnya ke sana ke mari. Juga bukan seperti kebanyakan aktivis rasialis himpunan mahasiswa yang mengalami post-power syndrome, menganggap kebenaran hanya datang dari duli senior.
Pada dirinya sendiri, NDP bukanlah himpunan peraturan operasional yang menawarkan tindakan praktis. Tidak seperti materi-materi informatif lainnya, materi NDP kering dan abstrak sehingga tidak menarik minat banyak kader untuk mengkajinya. Dengan demikian, adalah hal wajar kalau hanya ada segelintir orang yang berhasil tersaring, syukur-syukur menjadi pemateri, dari ramaian peserta kajian atau pelatihan.
Setelah seluruh aktivitas rekonstruksi ini berjalan, boleh kita bermimpi tentang terbentuknya kader yang dapat menggabungkan pengetahuan tradisional dan modern; yang menghimpun nilai-nilai kebijakan secara harmonis. Kader seperti ini tiada pernah meninggalkan dan melupakan dimensi transenden; mempunyai pemahaman yang integral seputar diri/manusia-alam-Tuhan; tidak mudah terseret pada paradigma politis, serta tidak mudah terhegemoni oleh negara. Boleh kita mengharap kader yang menjadi cahaya, yang terang dengan sendirinya dan menerangi segala sesuatu di luar dirinya. Rekonstruksi ideologi adalah sebuah tindakan wajar sebuah organisasi kader ketika ingin mereposisi diri pada dunia yang terus berubah. [andito]
Numpang Backlink Gan,..