Tampilkan postingan dengan label diskusi ke_KEMA-an. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label diskusi ke_KEMA-an. Tampilkan semua postingan

Di Mana Sebenarnya Peran Lembaga Mahasiswa?

Hidup sebagai orang Indonesia di hari ini mungkin adalah hidup yang menggemaskan, mengapa? Karena di tengah segala kekacauan. Ketertinggalan, dan kemiskinan di negeri ini, kita sebenarnya merasa bahwa bagnsa ini sesungguhnya punya modal besar untuk maju dan berkembang jauh melebihi bangsa lain. Mengutip kata-kata Jusuf Kalla saat talkshow di Baruga Pettarani beberapa waktu lalu, “kita kadang-kadang gemas juga melihat bangsa ini. Mengapa? Karena kita melihat bangsa ini tidak maju-maju, padhal kita tahu bangsa ini bisa jauh lebih maju!”. Ya, apa yang tak dimiliki Indonesia kita ini? Tenaga kerja dalam jumlah besar, sumber daya alam melimpah, posisi strategis dalam percaturan geopoliik dunia. Lalu? Ketika pembahasan sudah sampai di tiik ini, maka ujung-ujungnya kita akan sampai di satu kesimpulan, bahwa bangsa ini kurang pemimpin. Di beberapa kali forum seminar, forum diskusi, forum kuliah, ketika membahas apa yang kurang dari bangsa ini untuk mampu memberdayakan semua potensi yang dmiliki, semua akan sampai pada satu kesimpulan, bahwa bangsa ini butuh pemimpin (bukan hanya pemimpin politik, namun juga pemimpin di segala bidang kehidupan) yang mampu mengarahkan gerak bangsa ini. Kita merindukan sosok Dahlan Iskan sebagai pemimpin BUMN, yang mampu menerobos kebuntuan dan mis-efisiensi perusahaan-perusahaan negara, kita butuh sosok Djoko Widodo yang di tubuh pemerintahan unuk menerobos kekakuan dan keangkuhan prosedur birokrasi kita, kita butuh ketegasan dan kecerdasan sosok Mahfud MD untuk menyelesaikan sengketa-sengketa produk hokum di negeri ini, kita butuh sosok Anies Baswedan untuk memulai kepeloporan di dunia pendidikan. Di bidang kehidupan lainnya, di bidang industry, perdagangan, pelayanan kesehatan, kepolisian, dan berbagai bidang kehidupan lainnya, kita burtuh sosok itu, tak hanya untuk mengarahkan kita dan menemukan jalan keluar dari problemaatika bangsa ini yang begitu sistemik, tapi lebih dari itu model kepemimpinan seperti mereka dibutuhkansebagai role model bagi jutaan anak bangsa yang selama bertahun-tahun hilang kepercayaan terhdapa pemimpin bangsanya. Problem besarnya adalah, bahwa (kita semua sudah tahu) tak ada pemimpin yang lahir begitu saja. Seorang pemimpin di abad 21 ini,tak akan pernah muncul tiba-tiba seperti munculnya tomanurung dalam tradisi kepercayaan orang bugis. Pemimpin mestilah lahir dari proses panjang yang tentu saja melelahkan, mungkin mirip proses pembentukan Gatot Kaca di kawah candradimuka, seperti dalam legenda pewayangan. Di Abad 21, kawah candradimuka, loyang bagi pembentukan pemimpin masa depan ini, tentu saja harus dipersiapkan. Karakter seorang Dahlan Iskan, Jusuf Kalla, Mahfud MD, Baharuddin Lopa (alm), dan teladan-teladan bangsa kita yang lain, terbentuk dari pergulatan panjang yang akhirnya membentuk cara berpikir, mental model, visi, dan kekuatan kepemimpinan mereka. Nah, di sinilah lembaga mahasiswa harusnya bisa mengambil peran. Di tengah system pendidikan kita yang semakin kering dan acuh terhadap pembentukan mahasiswa yang seutuhya, lembaga mahasiswa harusnya mampu menjadi kawah candra di muka bagi pembentukan pemimpin masa depan. Pemimpin masa depan Indonesia adalah pemimpin yang lahir dari proses panjang yang harusnya dimulai sejak muda. Di titik inilah, lembaga mahasiswa menjadi urgen dan punya peran strategis. Kegiatan-kegiatan kemahasiswaan harusnya mampu menjadi wadah pembentukan karakter mahasiswa (character building), menjadi ajang melatih kapasitas kepemimpinan (capacity of leadership building), sekaligus wadah membangun jejaring dan relasi (connection building). Kata kunci 3 C (character-capacity of leadership-connections) inilah yang kelak akan membentuk pemimpin unggul masa depan. Masalahnya adalah masih banyak lembaga mahasiswa yang missed-vision, kehilangan kemampuan untuk melihat jauh ke masa depan. Gejala missed-vision ini terlihat dari kegiatan-kegiatan kemahasiswaan yang kadang-kadang terjebak dalam romantisme dan ritual masa lalu yang kehilangan ruh, terjebak dalam kegiatan-kegiatan yang meminggirkan akal sehat, budaya bernalar dan pembangunan karakter. Coba kita pikir-pikir, setiap tahun, begitu banyak kegiatan mahasiswa yang diselenggarakan, namun banyaknya jumlah kegiatan kemahasiswaan itu tak berbanding lurus dengan kapasitas manusia. Setiap tahun, tawuran tetap marak, jumlah lulusan perguruan tinggi yang menjadi pengangguran tetap tinggi. Tanpa bermaksud men-simplifikasi masalah, factor utama rendahnya kualitas mahasiswa kita salah satunya adalah kegiatan kemahasiswaan yang tak berorientasi pada pembangunan manusia. Mestinya kegiatan-kegiatan kemahasiswaan adalah kegiatan yang membangun kapasitas manusia; bukannya malah melihat manusia tak lebih dari mesin-mesin pekerja organisasi. Sungguh aneh, masih banyak organisasi mahasiswa yang menganggap kegiatan kemahasiswaan adalah untuk membesarkan organisasi mahasiswa, padahal harusnya kegiatan-kegiatan kemahasiswaan adalah untuk membesarkan “manusia”nya. Yang lebih aneh lagi, masih banyak pengelola institusi pendidikan tinggi yang menganggap kegiatan kemahasiswaan hanya sekedar untuk mengisi waktu luang mahasiswa. pengelola institusi semacam ini sibuk mengejar akreditasi institusi, sibuk mengejar kuantitas lulusan, atau malah sibuk mengejar kuantitas penerimaan dana institusi, namun abai pada pembangunan 3-C mahasiswanya. Pengelolaan kemahasiswaan semacam ini mengingatkan kita pada pengelolaan pembangunan ala orde baru, sebuah model pembangunan yang mengejar pertumbuhan fisik, model pembangunan yang mengejar indicator-indikator makro, namun lupa pada pembangunan kualitas sumber daya manusia, juga lupa pada pembangunan budaya dan karakter bangsa. Pada akhirnya, pembangunan dengan model semacam itu, menumbuh kembangkan budaya korupsi, mematikan daya saing, dan merapuhkan ketahanan bangsa. Gejala-gejala budaya korupsi, tidak berdaya saing, dan rapuh-nilai itu terlihat pula dalam kualitas mahasiswa kita. Terakhir, kita mungkin perlu ingat perkiraan para ahli. Dua puluh tahun yang akan datang diperkirakan akan menjadi puncak pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dua puluh tahun lagi, Indonesia akan memiliki jumlah penduduk usia produktif yang paling tinggi. di tahun-utahun ini, Indonesia juga diperkirakan akan memiliki jumlah penduduk kelas menengah paling tinggi .Di tahun-tahun ini, angka konsumsi penduduk yang menunjang pertumbuhan ekonomi akan mencapai tingkat paling tinggi,. Di tahun-tahun inilah, Indonesia diharapkan mampu bertransformasi dari negara berkembang menjadi negara maju, karena setelahnya Indonesia diperkirakan akan mengalami beban kependudukan yang berat; penduduk usia tua yang non produktif meningkat, kelas menengah menurun (hal yang sekarang dialami Jepang). Nah, jika generasi yang akan memegang peran strategis di tahun-tahun emas ini, tak dipersiapkan dengan baik, mungkin kita akan ketinggalan momentum dan tak berajak dari kondisi memprihatinkan seperti sekarng ini.
baca tulisan ini lebih jauh

Kesibukan profesi: merampas semua waktu kita?

Judulnya memang agak sedikit provokatif (anak muda sekarang bilangnya lebay), tapi jujur saja saya sering memikirkan hal ini. Di sela-sela kesibukan sehari-hari, saya sering berpikir suatu saat nanti, ketika saya telah mencapai fase di mana kesibukan sebagai seorang calon dokter ataupun kesibukan sebagai seorang dokter mencapai masa di mana kesibukan itu benar-benar menghabiskan waktu saya yang hanya 24 jam itu, apakah saya masih punya sedikit waktu untuk diluangkan membaca buku-buku (buku-buku apa saja, selain buku kedokteran), membaca surat kabar, dan menonton film, seperti yang selama ini saya lakukan?

Selama ini, di tengah-tengah kesibukan (sebenarnya memang tak cocok disebut sebagai kesibukan, karena memang tak sibuk-sibuk amat) sebagai seorang mahasiswa kedokteran di sebuah perguruan tinggi negeri di Makassar, saya selalu punya waktu yang bisa saya habiskan dengan membaca buku, membaca artikel-artikel menarik di surat kabar, atau menonton film-film menarik. Saya memang tak punya jadwal khusus untk melakukan semua kegiatan itu, tapi yang pasti, selalu saja ada waktu kosong yang bisa saya gunakan. Di tengah-tengah waktu belajar, ketika saya dilanda kebosanan membaca buku-buku kuliah, atau di tengah siang, saat lagi mengantuk berat mendengarkan penjelasan dosen di ruang kuliah, saya sering gunakan waktu itu untuk membaca novel, mebaca buku-buku filsafat, atau buku-buku sosial budaya atau kalau lagi malas baca buku saya memilih nonton film. Di tengah malam, saat lagi tak bisa tdur, saya sering buka catatan teman-teman di fesbuk atau blog mereka yang berisi puisi-puisi terbaru, atau saya nonton film. Pagi-pagi saat lagi malas masuk kuliah pagi, atau sabtu dan minggu pagi sebelum ke kampus (ahh… selalu saja ada hal yang harus dikerjakan di kampus, saat orang harusnya libur) saya sering gunakan waktu itu untuk baca artikel-artikel menarik di kompas atau sindo.

Tak lama lagi, saya mungkin akan menyelesaikan pendidikan preklinik di fakultas ini. Itu berarti bahwa saya akan memasuki fase-fase tersibuk dalam kehidupan saya sebagai calon dokter.Semua orang tahu, bagaimana sibuk dan sulitnya kehidupan coass di rumah sakit. Harus dinas tiap pagi di rumah sakit (anda harus datang tepat waktu, tak bisa nitip absen karena mahasiswa yang dinas cuma belasan orang, beda dengan semasa kuliah yang satu ruangan bisa berisi ratusan orang), setelah dinas, harus tugas jaga lagi (tentu saja anda harus jaga, karena keselamatan pasien di rumah sakit terletak pada coass yang jaga waktu itu), di sela-sela dinas dan tugas jaga itu anda harus pintar-pintar membagi waktu, antara mengerjakan referat (semacam ulasan ilmiah tentang suatu topic penyakit tertentu) yang sangat panjang, waktu untuk istrahat, dan waktu untuk belajar buat persiapan ujian yang susahnya minta ampun. Walaupun kesibukan di tiap-tiap bagian selama coass berbeda-beda, tapi secara umum, seperti itulah prosesnya. Intinya sibuk!!

Setelah lulus? Apalagi!!Setelah melewati masa koass, harus belajar intensif buat persiapan uji kompetensi yang terkenal super-susah. setelah lulus uji kompetensi , kesibukan kita tergantung jenjang karir dan profesi yang kita pilih, yang memilih jadi klinisi mungkin akan sibuk buat jaga di klinik-klinik, atau sibuk jadi dokter di puskesmas atau rumah sakit milik pemerintah, yang memilih jadi dosen, mungkin sibuk dengan profesi barunya sebagai tenaga pengajar dan tenaga bantuan umum (yahh… anda tahulah dosen baru biasanya juga merangkap jadi tukang suruh-suruh dosen yang lebih senior). Sekarang lebih parah lagi, aturan baru untuk lulusan dokter sekarang, setelah lulus uji kompetensi harus magang di rumah sakit daerah dan puskesmas selamaminimal satu tahun. Sangat sibuk, bukan??

Pikiran dan ketakutan ini seringkali mengganggu pikiran saya, karena bagi saya, membaca buku-buku (novel, kumpulan cerpen, puisi, filsafat, sosial politik, budaya, bahkan komik sekalipun) serta nonton film itu bukan hanya tentang penyaluran hobi dan kegemaran. Lebih dari itu, membaca, tanpa disadari merupakan bagian dari pembentukan karakter kita. Terbiasa mebaca berbagai macam buku, menonton berbagai jenis film (kecuali film-film porno, itu tak dianjurkan sama sekali) bukan hanya memperluas wawasan dan khasanah pengetahuan kita, tapi juga merupakan elemen yangmempengaruhi cara berpikir kita, mempengaruhi tingkat kedewasaan kita. Dan ketika kelak kesibukan profesi ini mengambil waktu kita, saya ragu apakah kita masih punya waktu untuk mengisi otak kita dengan berbagai bacaan di luar bacaan medis. Seperti tubuh, pikiran kita juga perlu nutrisi, dan seperti yang saya pelajari, jika ingin sehat, nutrisi itu harus cukup dan seimbang takarannya.

Kita lihat saja nanti, semoga kenyataannya tak seperti yang saya takutkan. Semoga pikiran ini hanyalah perasaan-perasaan paranoid yang hadir begitu saja saat menyaksikan teman-teman lain yang sudah memasuki fase kehidupan kliniknya, yang sepertinya memang punya jadwal super-sibuk! Entahlah.. kita lihat saja nanti..
baca tulisan ini lebih jauh

Spirit Sumpah Pemuda dan Relevansinya dalam Permasalahan Bangsa Ini

Beberapa hari lagi, kita akan sampai di tanggal 28 oktober. Sebuah hari, yang oleh bangsa ini banyak diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda. Bukannya bermaksud latah, dengan ikut-ikut menulis tentang sumpah Pemuda, namun merefleksikan proses kelahiran sebuah peristiwa sejarah dan menarik relevansinya ke dalam realitas kehidupan kita secara praktis, selain merupakan bentuk penghormatan kepada sejarah, juga sekaligus merupakan cara kita menghadirkan perubahan bagi bangsa ini.

Gagasan penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua yang kelak melahirkan Sumpah Pemuda berasal dari Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggotakan pelajar dari seluruh indonesia. Panitia kongres yang diketuai Soegondo Atmowiloto menghadirkan perwakilan dari berbagai perhimpunan pemuda Indonesia yang waktu itu masih banyak merupakan representasi dari entitas-entitas kesukuan dan keagamaan. Atas inisiatif PPPI, kongres dilaksanakan di tiga gedung yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat. Sehingga menghasilkan Sumpah Pemuda. Tema-tema besar yang diusung dalam kongres pemuda itu adalah nasionalisme, pendidikan dan kepanduan.

Di akhir kongres inilah dilakukan pembacaan teks hasil kongres yang belakangan disebut sebagi Sumpah Pemuda. Pembacaan Sumpah pemuda ini kemudian menggaung ke suluruh jajahan hindia Belanda, menjadi topik pembicaraan dan diskusi di berbagai forum, di berbagai studi klub, dan dalam waktu cepat melahirkan gelombang semangat nasionalisme yang kelak di kemudian hari melahirkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Proses kelahiran sumpah pemuda yang dibacakan di Gedung Indonesisch Huis Kramat , 82 tahun silam ini, tidaklah lahir dari sebuah ruang yang hampa. Kelahirannya bukanlah hanya sebuah rangkaian proses sejarah yang determinis dari kejemuan masyarakat terhadap kondisu bangsa dan realitas penjajahan bangsa Eropa atas bumi nusantara namun juga merupakan hasil dari pergolakan pemuda sekaligus kualitas pemuda waktu itu.

Ada dua hal yang dimiliki pemuda Indonesia waktu itu yang mejadi titik tonggak kelahiran sumpah pemuda, yaitu kemampuan berpikir jauh ke depan dan keberanian mengambil sikap atas nasib bngsa sendiri. kemampuan berpikir jauh ke depan dan melompati mainstream pemikiran tradisional waktu itu yang masih bercirikan semangat kesukuan dan semangat keagamaan, merupakan hal yang baru . Begitu juga ide untuk menciptakan lahiranya sebuah negara-bangsa yang kelak bernama Indonesia (seperti tercantum dalam teks pidato yang dibacakan di kongres waktu itu oleh Moh.Jamin) merupakan sebuah terobosan ide yang belum terpikir oleh para generasi sebelumnya.

Bahkan lebih jauh lagi, kemampuan berpikir melampaui zamannya in telah dibawa oleh pemuda itu ke wilayah-wilayah yang jauh lebih universal, yaitu kesetaraan semua manusia. Penolakan terhadap segala bentuk kolonialisme dan dan penindasan sebuah bangsa atas bangsa lain merupakan hal-hal yang langka bagi pemuda-pemuda waktu itu yang bertahun-tahun hidup dalam feodalisme, baik di zaman kerajaan agraris hingga zaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda.

Yang juga menjadi hal penting dalam proses kelahiran sumpah pemuda adalah Keberanian mengambil sikap untuk menyatakan melawan entitas Hindia belanda yang disematkan oleh para penajah. Dengan lantangnya para pemuda meneriakkan sumpah Pemuda kemudian dilanjutkan dengan menyanyikan lagu Indonesia raya yang digubah oleh WR. Supratman, padahal isi Sumpah Pemuda dan lagu Indonesia Raya tersebut tidak hanya merupakan pernyataan akan persatuan bangsa dari seluruh nusantara, lebih jauh dari itu juga merupakan pernyataan terang-terangan akan cita-cita mendirikan sebuah negara bangsa yang merdeka dan berdaulat.

Pernyatan cita-cita nasionalisme ini tidak hanya mendapat tantangan dari pemerintah kolonial waktu itu yang mengawasi semua gerak gerik pemuda, namun juga mendapat tantangan berat dari pertanyaan apakah bangsa ini telah cukup mampu untuk berdiri di atas kaki sendiri. Namun dengan tegas para pemuda menjawab bahwa rakyat Indonesia mampu untuk berdiri sebagai sebuah bangsa yang berdaulat. Tujuh belas tahun kemudian, cita-cita besar ini benar-benar terwujud dengan pernyataan proklamasi tahun 1945 oelh Soekarno-Hatta.

Hari ini kita hidup dalam sebuah negara yang kehilangan karakternya sebagaia sebuah bangsa yang terhormat dan negara yang berdaulat. Kebudayaan kita yang lahir dari peradaban yang berusia ribuan tahun, hilang begitu saja dikikis oleh hegemoni budaya barat. Gejala disintegrasi bangsa dan konflik-konflik horizontal antar warganegara adir di mana-mana. Sebagai sebuah negara yang berdaulat, dengan mudahnya wilayah kita dicaplok negara lain. sebagai sebuah entitas politik, negara kita kehilangan taji dalam pergaulan internasional.

Gejala kehilangan karakter dan harga diri sebagai sebuah bangsa ini merupakan akibat dari ketidak mampuan negeri ini untuk menjadi sebuah negara-bangsa yang mandiri. adalah nyata bagi kita semua hari ini, bahwa dalam berbagai bidang kehidupan, kita mengalami ketergantungan (dependensi) terhadap bangsa lain.

Globalisasi ekonomi telah menyeret bangsa ini ke dalam dependensi terhadap kekuatan-kekuatan ekonomi asing, yang celakanya tidak dibarengi dengan penguatan terhadap kekuatan-kekuatan ekonomi mikro di skala local. Akibatnya, begitu mudahnya ekonomi kita disapu badai krisi di tahun 1997 dan kesenjangan kesejahteraan semakin dalam. Lebih jauh lagi permsalahn pelik terkait kemndirian bangsa ini telah menghasilkan prahara politik dan sosial yang berkepanjangan. Di bidang politik, campur tangan asing terhadap kebijakan-kebijakan negara sangat nyata terlihat.

Kembali ke semangat Sumpah pemuda tadi, kemampuan berpikir jauh ke depan dan melompati zaman merupakan sebuah spirit yang harusnya dihadirkan dalam realita permasalahan bangsa.karena sekali lagi, perubahan tidaklah lahir dari proses dialektika sejarah yang determinis. Kemampuan berpikir melampaui mainstream pemikiran umum seperti yang dimiliki oleh para pemuda angkatan 20-an harusnya bias menjadikan kita mampu memberikan sumbangan-sumbangan yang kreatif dan inovatif bagi perubahan bangsa.

Dan lebih dari itu, juga dibutuhkan keberanian para pemuda untuk menyatakan sikap terhadap persoalan mendasar bangsa ini. Permasalahan kemandirian bangsa kita, baik dalam bidang ekonomi, social maupun politik hanya bisa diselesaikan dengan ketegasan sikap. Di bidang ekonomi misalnya, kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat di Indonesia hanya bisa diwujudkan denan melaksanakan secara konsisten konsep ekonomi kerakyatan yang mandiri. Begitu juga di bidang politik, kebijakan yang tegas dan merdeka dari intervensi dari kekuatan asing lah yang bisa mengangkat harga diri kita sebagai sebuah bangsa.

Hari Sumpah pemuda bagi sebuah bangsa bernama Indonesia bukanlah hari yang lahir begitu saja. Ia lahir dari pergolakan, tidak hanya fisik, tapi juga pergolakan pemikiran yang alot. Beberapa di antara kita menjadikannya sebagai ritual yang kosong , dengan hanya sekedar diepringati, dijadikan tema-tema diskusi, dijadikan tema-tema aksi tanpa pernah kita benar-benar merefleksikan releansi semangat sumpah pemuda dalam tantangan bangsa hari ini.

Selamat Hari Sumpah Pemuda..
baca tulisan ini lebih jauh

KKN=liburan yang ada SKS nya...

Akhirnya kembali bisa posting lagi, setelah hampir sebulan ini terjebak di posko KKN. Terjebak dalam rutinitas posko desa Arungkeke kecamatan Arungkeke, Kabupaten Jeneponto (sudah lengkap sekali mi toh?)

Pertama –tama datang ke lokasi KKN, (apalagi KKN profesi kesehatan), saya berpikir bahwa hari-hari KKN sangat sibuk dan melelahkan (ditambah lagi komentar-komentar senior tahun lalu pasca KKN yang entah memang sangat melelahkan ataukah sedikit dilebih-lebihkan)

Dua tiga hari tinggal di lokasi KKN, mulai ada yang terasa salah dalam rutinitas KKN ini. Mungkin orang-orang di sekitar saya yang malas atau memang kondisi KKN selalu seperti ini. KKN terasa seperti liburan panjang di kampung orang. Berkunjung ke posko-posko lain di jeneponto, ternyata teman-teman yang lain juga merasakan hal yang sama.

Entahlah (pengalaman dan pengetahuan saya terlalu dangkal untuk menyimpulkan), tapi begitu lowongnya kegiatan KKN, kebingungan peserta KKN dalam menyusun dan menjalankan program kerja sedikit menandakan bahwa konsep Kuliah melalui kerja nyata di lapangan yang selama ini kita jalankan bertahun-tahun butuh ditinjau ulang kembali.

Arungkeke, 14 Juli 2010
baca tulisan ini lebih jauh

KKN profesi atau KKN reguler?

asslm.
akhirnya setelah beberapa hari vakum dari dunia per-blog-an (istilah apa itu?), akhirnya bisa posting lagi. maklumlah beberapa hari kemarin lagi rame-rame dan ribut-ribut-nya PEMILUKADA (???? apa hubungannya?) maksudnya, PEMILU RAYA KEMA FK UNHAS. dan sebagai sebuah bentuk penghormatan dan dan penghargaan terhadap pesta demokrasi terbesar di KEMA ini, segala bentuk tulisan untuk sementara dihentikan dulu.. (alasaaann...)

beberapa hari ini, banyak sekali teman-teman yang bertanya, "ikut ji KKN bulan depan? ambil KKN apa? profesi atau reguler?"

bulan juli, mahasiswa UNHAS yang sudah mencapai 130 SKS sudah bisa ikut KKN (kuliah kerja nyata yaa, bukan korupsi kolusi nepotisme, apalagi kejar-kejar nona). banyak sekali teman-teman yang bertanya, sebenarnya lebih tepat disebut curhat, tentang kebingungannya mau pilih ikut KKN profesi atau KKN reguler. KKN profesi itu KKN yang diselenggarakan secara berkelompok oleh beberapa fakultas yang memiliki kedekatan displin ilmu, misalnya faklutas kedokteran, kedokteran gigi, kesehatan masyarakat, dan Farmasi buat KKN profesi kesehatan, trus fakultas pertanian, kehutanan, perikanan, kelautan dan peternakan juga menyelenggarakan KKN profesi agro, dll. sedangkan KKN reguler adalah KKN yang diselenggarkan oleh universitas secara reguler, jadi pesertanya adalah mahasiswa dari berbagai fakultas tanpa batasan kedekatan disiplin ilmu.

teman-teman banyak yang lebih cenderung memilih reguler karena pertimbangan lokasinya yang kebetulan (atau memang dibetul-betulkan)dekat dengan makassar .kalau tidak salah lokasi KKN reguler tahun ini, di maros, bone, sinjai. (banyak teman-teman yang punya akses ke rektorat hingga mampu mengatur penempatan lokasi KKN nya, hingga bisa ditempatkan di daerah yang dekat dengan makassar).

sedangkan yang memilih KKN profesi sebagian besar karena alasan supaya bisa dekat dengan teman-teman se fakultas (yahh.. ini juga susahnya mahasiswa FK, jarang sekali berinteraksi dengan mahasiswa lain. paling kalo ada kenalan di luar,tak jauh-jauh dari mahasiswa FKG, FKM, atau paling jauh mahasiswa Teknik)

keputusan mau memilih KKN profesi dan reguler kembali ke teman-teman (tentu saja berdasarkan pemikiran sadar dan rasional).apapun pilihan itu, fungsi utama KKN adalah agar mahasiswa bisa merasakan langsung realita permasalahan di masyarakat (bukankah universitas dan perguruan tinggi hari ini semakin menjadi menara gading, semakin jauh dari realita masyarakat). Yang ikut KKN profesi, sebenarnya lebih punya peluang besar untuk mengaplikasikan ilmunya di masyarakat, karena mahasiswa yang ikut KKN profesi rata-rata punya basis keilmuan yang sama, sehingga program kerja bisa lebih difokuskan pada peningkatan kualitas kesehatan masyarakat. Mahasiswa yang mengikuti KKN reguler juga seharusnya mampu mengerti permasalahan kemasyarakatan secara holistik karena permasaahan-permasalahan yang didapatkan di masyarakat lebih bisa dikaji secara komprehensif dan diterapi secara holistik lintas disiplin ilmu.

semoga, KKN nanti tidak hanya menjadi sebuah bagian dari rutinitas jadwal akademik saja, yang pada akhirnya hanya akan merepotkan warga yang kita datangi. tapi semoga bisa meninggalkan sebuah hasil KERJA yang NYATA. amiinn...
baca tulisan ini lebih jauh

Senioritas dan kelangsungan lembaga (2)

Diskusi tentang senioritas memang diskusi yang tak kunjung habis. berbagai diskusi tentang pro kontra senioritas itu hampir kita temui tiap hari. mungkin fakultas kedokteran adalah fakultas yang paling tinggi kadar senioritasnya. Betapa tidak,tidak seperti di fakultas lain, ikatan kesejawatan profesi di fakultas ini sangatlah kental . ikatan profesi ini bahkan berlaku seumur hidup.

terlepas dari berbagai stigma jelek senioritas itu, bagi saya senioritas itu sebenarnya tetap dibutuhkan, utamanya di Fakultas kedokteran. Mengapa?

pertama, bagi saya, di fakultas kedokteran, senioritas adalah sebuah bentuk penghargaan kepada sesama manusia. Ajaran agama mana atau ajaran moral mana yang bisa membantah bahwa menghormati yang jauh lebih duluan ada sebagai bukan sesuatu yang baik. dan bagi seorang mahasiswa kedokteran, penghormatan dan penghargaan kepada orang lain adalah hal yang pertama harus dipelajari, karena selama hidup sebagai dokter kita akan berjumpa dan berinteraksi dengan orang-orang dari berbagai kalngan. dari yang kaya hingga yang paling miskin, dari yang sehat sampai yang penyakitnya tak mampu lagi diselamatkan. Dan jika di kampus saja mereka tak bisa memberikan penghargaan kepada sesamanya mahasiswa atau kepada orang yang lebih tua dari mereka entah itu seniornya, dosennya, pegawai tata usaha atau mungkin cuma cleaning service, bagaimana bisa ia menghormati orang-orang yang mungkin lebih rendah statusnya secara sosial dan ekonomi dari dirinya di luar sana.

Kedua, tak pernah ada orang yang bisa menjadi dokter hanya dengan membaca buku. Secerdas dan sejenius apa pun dia. Bahkan jika pun ia adalah seorang malaikat yang menjelma menjadi manusia. Seorang mahasiswa kedokteran dalam perjalanannya menjadi seorang dokter selalu butuh interaksi dengan orang lain, dengan orang yang lebih duluan belajar ilmu kedokteran dari mereka. Setiap mahasiswa kedokteran pasti pernah diajar secara personal oleh seorang senior baik itu disamping tempat tidur pasien, di ruang diskusi atau bahkan di meja operasi. Ilmu itu diajarkan oleh mereka secara langsung person per person. Artinya, apa yang kita miliki hari ini sebagai dokter adalah sumbangsih dari orang yang pernah menjadi guru kita, senior kita. Oleh karena nya tidak ada alasan untuk tidak memberikan penghargaan dan penghormatan kepada mereka secara wajar dan pantas.

Saya pun juga tidak sepakat dengan senioritas yang memaksakan segala kehendak. Senioritas yang mengindoktrinasi sang yunior seolah mereka tak punya pikiran dan kepala. Membuat mereka seperti hamba dihadapan raja. Pada zaman saya menjadi maba, saya pun lebih banyak tidak sepakat dan membangkang kepada senior. Saya punya pengalaman, dikeluarkan dari MPMB oleh senior karena membangkang, dan sampai sekarang pun saya tetap dicap sebagai junior pembangkang oleh beberapa senior-senior.

Namun apapun itu, kita tetap butuh ruang-ruang pengkaderan dan bimbingan dari orang yang lebih tua (senior) kepada adik-adiknya yang lebih muda (junior). jadi, harus dipahami bahwa senioritas ada sebagai sebuah metode, bukan tujuan. senioritas adalah jalan bagi kita untuk membimbing adik-adik bukannya mengeksploitasi tanpa batas. bagi saya pribadi, tanpa bantuan dari seorang senior dan belajar dari mereka, saya mungkin tak akan bisa menjadi diri saya seperti sekarang. Di FK ini, sejak saya masuk di FK saya sangat termasuk orang yang beruntung karena mendapat kesempatan untuk berkenalan dan berinteraksi dengan orang-orang hebat yang telah mengajari saya bagaimana menjalani hidup sebagai mahasiswa. Saya bersyukur bahwa di waktu kuliah di Fakultas Kedokteran yang singkat ini, saya bisa bisa kenal dengan kanda khalik yang selalu mengajarkan bagaimana menjadi seorang problem solver, kanda irga yang selalu menunjukkan keteladanan seorang pemimpin, kanda tazrif yang selalu mengajarkan keteguhan sikap dan idealisme, dan kanda-kanda lainnya yang tak sempat saya sebutkan nama-namanya.

Harus diakui memang, bahwa senior-senior hari ini sudah semakin jauh dari makna senioritas yang sesungguhnya. Bagi saya, menjadi senior adalah berarti menjadi teladan, dan senioritas berati menunjukkan keteladanan. Mari menjadi senior yang sebenarnya...
baca tulisan ini lebih jauh

Senioritas dan kelangsungan lembaga (1)

Bagi anda yang lumayan sering berkecimpung di dunia kemahasiswaan, atau setidaknya sering bersentuhan dengan dunia kemahasiswaan, maka anda pasti akan akrab dengan kata senioritas. mari kita sedikit bicara mengenai sebuah kata yang sakral ini. kata-kata yang membuat apapun argumen anda akan patah jika dibantah dengan kata "senioritas" ini, atau jika anda seorang yang bicara blak-blakan, maka saya yakin kata ini pasti akan mampu membuat anda diam.

benarkah?

Senioritas adalah sebuah fenomena penghargaan atau penghormatan terhadap orang yang lebih dulu berkecimpung di sebuah lembaga. Fenomena senioritas ini dipraktekkan dalam segala bentuk interaksi antar komponen organisasi. Dalam tatanan kelembagaan formal, ada senioritas. Dalam kegiatan-kegiatan lembaga juga ada senioritas. Untuk beli gorengan juga ada senioritas, untuk pakai toilet juga ada senioritas. Ya, kan?

Dalam hampir semua lembaga kemahasiswaan, senioritas adalah hal yang mutlak ada. Tidak boleh tidak. tak dapat disangkal lagi, bahwa dalam beberapa kasus, fenomena senioritas ini punya efek positif bagi kelangsungan dan regenerasi sebuah lembaga. Mengapa? Karena dalam bilik-bilik senioritas, penanaman nilai-nilai dan tujuan organisasi, lebih mudah dilakukan. Doktrin-doktrin organisasi jauh lebih mudah ditanamkan kepada (utamanya) anggota baru jika kita berada dalam suasana "senioritas".

Masalahnya, adalah ketika senioritas menjadi liar dan tidak terkendali, yaitu ketika senioritas ditempatkan tidak lagi pada tempatnya. Seyogyanya, senioritas ada ketika kita berada dalam ranah proses transformasi nilai-nilai organisasi antara yang lebih tua kepada yang lebih muda. Sialnya, seringkali senioritas dijadikan legitimasi untuk mengeksploitasi pihak-pihak subordinat kita. Lebih sialnya lagi, senioritas yang menyimpang ini dibenar-benarkan (lebih tepatnya disalahgunakan) oleh orang-orang pragmatis untuk meraih tujuan-tujuan yang tak lagi ada hubungannya dengan organisasi.

Senioritas yang tidak terkendali ini lambat laun akan melahirkan sebuah bentuk penjajahan yang (celakanya) terstrukturkan. Apa gunanya kita (mahasiswa senior) berdiri di jalan berbicara menentang penjajahan jika di kampus kita, jika setiap hari di depan mata kita, penjajahan dan feodalisme masih ada di kampus. Apa gunanya kita berbicara di depan mahasiswa baru tentang independensi dan intelektualitas, jika kita masih selalu saja membunuh independensi dan intelektualitas itu dengan eksploitasi dan feodalisme?
baca tulisan ini lebih jauh

mahasiswa makassar Rusuh?


Beberapa waktu belakangan media-media lokal di Sulsel lagi ramai-ramainya memblow up kasus seringnya mahasiswa makassar rusuh. Tidak tanggung-tanggung topik tentang budaya rusuh mahasiswa makassar ini dimuat di halaman depan media-media cetak besar di makassar, seperti fajar dan tribun timur.

Fenomena rusuh, baik rusuh saat aksi demonstrasi maupun rusuh tawuran antar mahasiswa sendiri, sebenarnya bukanlah hal yang langka di daerah ini. Namun belakangan fenomena ini kemudian diblow up di media, terutama setelah beberapa pengusaha asal sulsel memberikan statemen bahwa sarjana-sarjana keluaran unversitas dimakassar sulit untuk mendapatkan tempat di perusahaan-perusahaan nasional, dan penyebab utamanya adalah karena adanya stigma negatif di luar makassar bahwa lulusan-lulusan asal makassar terkenal biang rusuh. belum lagi-katanya- investor-investor dari luar sulit untuk menanamkan investasinya di kota ini akibat kesan sebagai kota yang tidak aman.

Harus diakui memang, stigma negatif bahwa label biang rusuh, anarkis, keras, terus melekat dalam diri mahasiswa asal makassar. dalam beberapa forum-forum nasional yang penulis ikuti, penulis betul-betul merasakan betapa dalam pikiran teman-teman-teman mahasiswa di luaar sana, maahsiswa asal makssar itu berwatak temperamental. pernah suatu kali penulis mengikuti kegiatan pertemuan di semarang, dan pertanyaan yang penulis dapatkan dari mahasiswa asal daerah lain adalah: "di makassar, tawuran itu berapa SKS sihh?"

Fenomena tauran dan rusuh ini memang merupakan hal yang perlu kita prihatinkan dan kaji bersama-sama. Saya percaya bahwa, mahasiswa bukanlah satu-satunya pihak yang harus disalahkan atas fomena rusuh ini.

Karena jika kita mencermati baik-baik fenomena rusuh akhir-akhir ini, sebagian besar kejadian rusuh yang melibatkan mahasiswa di kota ini lahir bukanlah dari reaksi spontanitas mahasiswa. sebagian besar penyebab rusuh mahasiswa akhir-akhir ini, umumnya adalah akibat dipantik hal-hal "sepele" yang sebenarnya bisa dibicarakan baik-baik. fenomena tawuran antar fakultas di Unhas yang biasanya dipicu masalah ketersinggunagn personal, fenomena rusuh mahasiswa asal Luwu versus SATPOL PP, rusuh aparat versus mahasiswa di pintu 1 UNHAS, dan rusuh-rusuh lain membuktikan bahwa fenomena rusuh bukanlah lahir dari kehendak sadar dan rasional mahasiswa.

Beberapa kawan-kawan (terutama pimpinan-pimpinan dan pengurus lembaga mahasiswa- teman-teman penulis sendiri) mengungkapkan bahwa melihat pemicu bentrokan selama ini yang terkesan sepele, ada kecurigaan bahwa bentrokan mahasiswa ini hanyalah settingan orang-orang tertentu yang punya kepentingan dengan pergolakan dan kekacauan yang ditimbulkan. Apalagi kemudian ketika kita mencermati, waktu ke bentrokan biasanya berdekatan dengan momen-momen tertentu yang sifatnya politis. Sebut saja menjelang pemilihan dan pelantikan rektor, pemilihan pembantu rektor, LPJ gubernur, dan sebagainya.

Penyebab lain dari fenomena rusuh ini adalah pola komunikasi yang kita bangun selama ini mengalami kebuntuan. harusnya kekerasan tak perlu terjadi andaikan pihak-pihak yang terkait bisa membangun komunikasi yang dialektis. Namun yang terjadi hari ini,komunikasi yang harusnya menjadi fungsi pemimpin lembaga mahasiswa tidak berjalan maksimal. akibatnya mahasiswa menjadi liar dan mudah terprovokasi. Parahnya lagi birokrat kampus yang harusnya menjadi mediator hanya bisa berkoar-koar di media tanpa pernah terjun langsung ke lapangan dan menyelesaikan akar permasalahan.

Komunikasi yang berjalan tidak maksimal ini, baik antar pemimpin lembaga mahasiswa, mahasiswa dan birokrat kampus, maupun mahasiswa dan pemerintah telah berlangsung bertahun-tahun. Akibatnya, setiap ada friksi sedikit aja, maka akan menyebabkan letupan kekerasan.

harusnya pemerintah sebgai pengayomrajin membuka keran-keran diskusi yang dialektik dan dialogis. Selama ini proses mediasi yang dilakukan cenederung pasif dan menunggu bola, yaitu hanya dilakukan ketika bentrokan sudah terjadi. harusnya birokrat lebihdewasa dan aktif dalam membangun komunikasi, bukannya malah mengeluarkan statemen-statemen yang tidak produktif di media, seperti yang dilakukan selama ini. Penulis yakin dengan cara seperti itu akan terbangun rasa saling percaya dan kesepahaman bersama menenai gerak langkah dan arah pembangunan bangsa yang lebih produktif.
wassalam
baca tulisan ini lebih jauh

Peran Lembaga Mahasiswa dalam Membangun Indonesia Emas

Realita Kehidupan bangsa Indonesia hari ini

Sejak zaman perjuangan kemeerdekaan hingga kini, bangsa kita terus berada dalam ketertinggalan dan keterpurukan. Dan sampai hari ini pun kita masih tak bisa lepas dari keterpurukan dan ketertinggalan tersebut. Berbagai ketertinggalan tersebut meliputi hamper semua sendi-sendi kehidupan bangsa ini.

di bidang ekonomi tingkat pengangguran masyarakat kita masih tinggi. Kemiskinan cenderung naik. Tingkat investasi masih belum optimal. Pertumbuhan ekonomi cenderung lambat. Daya saing kita cenderung melemah, sementara Negara-negara di kawasan (China, India, serta Negara-negara asia lainnya) semakin menunjukkan performance yang cemerlang dalam laju pertumbuhan ekonomi. di bidang politik sejak era reformasi tahun 1998, kita memang berhasil mencapai kebebasan berpolitik yang lebih dari era sebelumnya. Keberhasilan membangun demokrasi ini memang patut diacungi jempol, namun, jika kita melihat realita yang terjadi di tangkatan grass root yang terjadi justru adalah praktik politik yang tidak sehat, yang brujung pada ketidak percayaan public pada perangkat-perangkat politik, desentralisasi yang kebablasan (bahkan sampai mengarah pada disintegrasi)

di bidang hukum, upaya reformasi terus dilakukan termasuk dalam pemberantasan korupsi, tetapi masih banyak catatan tersisa, bahwa praktik-praktik dunia hukum kita masih belum mengarah pada penguatan kepastian hukum. Bahkan ada kecenderungan masyarakat kita semakin antipasti terhadap kinerja perangkat-perangkat hokum negeri ini (masih ingat kasus cicak vs buaya, susno vs polri, serta kasus lainnya). di bidang sosial-kemasyarakatan, kondisi kesehatan yang memprihatinkan, kurangnya keseriusan pemerintah dalam membangun pendidikan serta semakin lunturnya kebudayaan local yang menjadi watak dan local geniusity bangsa ini menjadi sebuah tugas berat untuk diselesaikan.

Masalah-masalah kita sebagai bangsa memang kompleks serta saling terkait satu sama lain. Kita tak mungkin menyelesaikan permasalahan pendidikan tanpa melakukan perubahan mendasar pda kebijakan ekonomi. Demikian pula tidak mungkin berbicara tentang pembanguna kesehatan tanpa berbicara budaya, ekonomi dan pendidikan.

Tantangan masa depan Indonesia

Beban berat bangsa ini akan semakin berat dengan semakin beratnya tantangan masa depan. Di tengah ketertinggalan mutlak bangsa ini di semua sendi kehidupan, kita tak mampu menghentikan berbagai perubahan-perubahan global yang akan berimplikasi besar dalam kehidupan masa depan (coba bayangkan kita sedang balapan. Kita menggunakan motor dengan mesin 90 cc, yang rusak di sana sini, sementara bangsa lain menggunakan motor dengan mesin 300 cc dan peralatan yang serba baru, sementara jalan di depan semakin berkelok, semakin menanjak dan sulit dilewati)

Indonesia masa depan akan dihadapkan pada arus informasi yang semakin cepat, perkembangan sains dan teknologi yang semakin cepat dan luas, pola kehidupan dunia yang semakin mengglobal dan terbuka, serta brbagai tantangan lainnya.

Di mana peran mahasiswa?

Berbagai tantangan itu tentu saja menjadikan kita (mahasiswa, sebagai generasi muda bangsa ini) patut untuk cemas dan gelisah. Mengapa? Pertama, karena berbicara masa depan adalah berbicara tentang masa depan kita dan anak cucu kita, dan tentu saja kita tidak ingin di masa depan kita mendapati diri kita atau anak cucu kita hidup sebagai budak bangsa lain. Kedua, karena sejauh ini, kita masih juga tenang-tenang saja seakan tidak terjadi apa-apa.

Membangun bangsa Indonesia masa depan, maka kita akan berbicara tentang membangun kualitas bangsa ini agar sanggup menghadapi tantangan masa depan. Menurut prof. Gunawan Mintohardjo dalam bukunya Membangun Indonesia Emas, untuk membangun Indonesia masa depan maka kita membutuhkan generasi yang menguasai 3 hal yaitu concepts, competencies, dan conections
Karena kompetensi (soft skill) mahasiswa kita telah anggap didapatkan oleh mahasiswa di bangku kuliah (atau sejenisnya) maka tanggung jawab dan fungsi lembaga kemahasiswaan hari ini adalah memberikan ruang bagi mahasiswa untuk membangun konsep dan koneksi. Di situlah lembaga mahasiswa berperan, dalam hal ini, utamanya melalui berbagai kegiatan-kegiatan kelembagaan.

Membangun konsep mahasiswa maka kita akan berbicara tentang penanaman idealisme kemahasiswaan, tanggung jawab sebagai mahasiswa dan generasi penerus bangsa, pemahaman akan kompleksitas permasalahan bangsa, pembangunan karakter mahasiswa, serta pembekalan kemampuan manajerial dan kepemimpinan.

Pembangunan konsep dan koneksi mahasiswa dalam dunia kemahasiswaan masa kini yang semakin bergerak ke arah pola hidup hedonis dan konsumtif, bukanlah sebuah tugas yang mudah. Tapi tentu saja di atas segalanya, adalah sebuah kebanggan bagi lembaga mahasiswa hari ini untuk menjadi Loyang (atau tungku) bagi pencapaian generasi Indonesia Emas
baca tulisan ini lebih jauh

Tantangan dokter masa depan, tantangan dunia lembaga mahasiswa hari ini, dan perlunya pengawalan kader

Mahasiswa kedokteran masa kini hidup di abad 21, di mana dihadapkan pada tantangan dunia kesehatan secara umum dan dunia kedokteran secara khusus yang makin berat dan makin sulit ditebak. Untuk menghadapi tantangan dunia kesehatan yang semakin berat tersebut, Mahasiswa kedokteran, baik sebagai individu maupun sebagai komunitas kedokteran membutuhkan persiapan dan bekal yang matang.

Tantangan yang paling besar yang menjadi tugas berat bagi dokter masa depan adalah permasalahan kesehatan yang semakin mengglobal dan semakin kompleks serta tuntutan akan tanggung jawab profesi seorang dokter yang semakin besar.


Harus diakui bahwa semakin kompleks dan semakin terintegrasinya berbagai bidang kehidupan masyarakat kita hari ini membuat masalah kesehatan (yang merupakan tanhggung jawab bagi seorang dokter) tak lagi bisa dipisahkan dengan bidang kehidupan lain. Permasalahan kesehatan tak lagi bisa diselesaikan dengan mengandalkan pendekatan biomedik, seperti yang kita pelajari di bangku kuliah namun membutuhkan pemahaman lintas disiplin ilmu, kajian yang kompleks akan permasalahan sosial budaya, ekonomi, pendidikan dan sebagainya.

Di masa yang akan datang, kebutuhan masyarakat akan tenaga kesehatan akan semakin besar (dengan mempertimbangkan berbagai faktor, seperti kesejahteraan masyarakat yang makin meningkat, tingkat pendidikan masyarkat semakin tinggi, pola hidup masyarakat yang semakin konsumtif, yang berakibat perhatian individu pada masalah kesehatannya akan semakin besar). Hal ini akan berimplikasi pada peran dokter dalam kehidupan sosial akan menjadi semakin vital. Posisi dokter dalam kehidupan masyarakat semakin penting dan ini menegaskan akan kebutuhan kita akan dokter-dokter yang berkarakter pemimpin, cerdas, dan berwawasan luas.

Berbagai tantangan di atas membawa kita pada kesimpulan akan butuhnya kita akan kader yang mau belajar/mengerti wacana-wacana dunia kesehatan, lintas disiplin ilmu, serta berkarakter pembelajar, peka dan kritis terhadap peramasalahan-permasalahan sosial kemasyaraktan.

Di lain sisi, dinamika kemahasiswaan kita, yang harusnya menjadi tempat kita membina dan mempersiapkan dokter-dokter yang mampu menghadapi tantngan masa depan juga menghadapi tantangan yang tak kalah peliknya yang tentu saja membutuhkan kreativitas agara mahasiswa kita bisa beradaptasi dengan pola dunia kemahasiswaan hari ini. Cepatnya regenerasi dalam dunia lembaga kemahasiswaan, masih rendahnya keteladanan, serta system kelembagaan yang belum terarah dan sinergis satu sama lain menjadi penyebab utama belum maksimalnya fungsi perangkat lembaga mahasiswa sebagai tempat belajar dan mempersiapakan diri mahasiswa dalam menghadapi tantngan masa depan.

Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka butuh sebuah metode pengawalan yang sistematis serta terencana dan berkesinambungan agar transfer pengetahuan, wacana, idelisme, serta budaya kemahasiswaan mampu berjalan secara maksimal. Selain itu butuh pula sebuah metode pendampingan yang kreatif dan fleksibel agar mampu menjadi sebuah wadah belajar yang menarik dan efektif.
baca tulisan ini lebih jauh

PERGUB no 28 th.2010 dan Disorientasi Arah Pembangunan Hari Ini

Saya ingin menulis tulisan ini, dengan berangkat dari kenyataan bahwa bangsa kita hari ini berada dalam sebuah kondisi yang mandeg. Di mana-mana pembangunan bangsa ini mengalami stganasi. Dalam bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, budaya, politik, bangsa ini berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Sangat rumit memang untuk mengurai benang kusut pemasalahan bangsa hari ini. Karena masalah bangsa kita hari ini telah menjadi sebuah jaring laba-laba sistemik yang saling terkait satu sama lain. Permasalahan kesehatan akan terkait dengan pendidikan, permasalahan ekonomi, permasalahan, politik, dan sebagainya. Oleh karena itu, untuk memutus mata rantai sistemik krisis bangsa ini, kita perlu sebuah arahan dan prioritas pembangunan yang realistis dan terukur. dan bagi penulis, membangun kualitas sumber daya manusia rakyat Indonesia hari ini adalah satu-satunya jalan bagi angsa ini untuk keluar dari keterbelakangn dan ketertinggalan.

Jika kita berbicara tentang pembagunan kualitas sumber daya manusia bangsa ini, maka kita akan berbicara tentang kualitas pendidikan dan kesehatan bangsa kita. Karena itu, di tengah segala kekurangan dan kelemahan Negara kita hari ini (lemah dalam kekuatan modal finansial, kualitas SDM, pernagkat hokum suprastruktur, dan sebagainya), pemerintah wajiblah untuk menjamin akselerasi pembangunan pendidikan dan kesehatan yang berkualitas. Hal ini sebenarnya telah digariskan dalam konstitusi di mana UUD 1945 sendiri menegaskan bahwa Pendidikan dan kesehatan dijamin oleh Negara dalam hal ini pemerintah sebagai pelaksana tugas Negara.

Pergub no.28 , ke mana arahnya?

Kebijakan Pemerintah provinsi Sulawesi Selatan baru-baru ini yang mengeluarkan pergub (peraturan gubernur) no.28 tahun 2010 yang salah satu poinnya (poin 23) mewajibkan koass (mahasiswa kedokteran yang sementara menjalani praktik magang di Rumah sakit), residen (dokter yang sedang mengambil program pendidikan dokter spesialis) dan perawat/ bidan yang sedang praktik magang unuk membayar retribusi tiap menjalani stase di rumah sakit milik pemerintah provinsi , tentu saja merupakan sebuah hal yang aneh dan tak berdasar.

Merupakan hal yang aneh, karena tanpa alasan yang jelas pemerintah provinsi Sulawesi Selatan mengeluarkan pergub ini. Kebijakan ini, terlepas dari dalih pemprov bahwa kebijakan ini bertujuan untuk merapikan administrasi dan akuntabilitas keuangan di rumah sakit, menimbulkan pertanyaan besar bagi kita semua , bahwa bukankah pemerintah berkewajiban untuk mneyelenggarakan pendidikan yng berkualitas bagi segnap rakyatnya, bukannya malah “memeras”.

Terlebih lagi bayaran rtribusi yang diminta bukanlah jumlah yang kecil untuk ukuran kantong mahasiswa Makassar, Koass diwajibkan membayar Rp. 60.000 per minggu, residen Rp.75.000 per minggu, dan mahasiswa keperawatan/kebidanan Rp.50.000 per minggu. Sebuah angka yang tidak sedikit tentu saja. Kebijakan ini juga jelas-jelas tak berdasar karena melanggar aturan yang lebih tinggi, yaitu UU penyelenggaraan Rumah sakit yang jelas-jelas menggariskan bahwa fungsi Rumah sakit selain sebagai penyelenggara layanan kesehatan juga berfungsi menyelenggarakan pendidikan kesehatan.

Sebenarnya kerjasama antara institusi penyelenggara pendidikan kedokteran (di Makassar khususnya, dalam hal ini UNHAS dan UMI) dengan rumah sakit milik pemprov telah berlangsung puluhan tahun. Dalam rentang waktu yang cukup panjang itu, ribuan tenaga kesehatan telah dihasilkan, yang tentunya ujung-ujunganya sebagian besar dari lulusan-lulusan itu akan berkontribusi besar (baca:menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan) di Sulawesi selatan. Alangkah sebuah pikiran yang picik jika kerjasama bertahun-tahun itu yang telah menjadi tulang punggung bagi pelayanan kesehatan hingga sekarang dinodai dengan retribusi yang targetnya tak lbih dari mengejar PAD belaka.

Kisruh mengenai retribusi ini semakin diperparah oleh statement gubernur Sulsel di sebuah media local, bahwa wajar saja residen, koass dan perawat dimintai retribusi karena mereka mneggunakan rumah sakit untuk memperoleh pendidikan, makan dan tidur di Rumah sakit. Sebuah pernyataan yang sangat menyakitkan, terlebih lagi diucapkan oleh seorng kepala daerah.

Saya menganggap bahwa pernyataan ini keluar dari ketidak tahuan ggubernur kita akan realita di Rumah Sakit-Rumah Sakit milik pemprov (bebrapa teman dengan nada bercanda menyebut, mungkin karena gubernur kita terlalu sering berobat ke luar negeri hingga tak tahu realita yang terjadi di lapangan). Harus dipahami bahwa di rumah Sakit-Rumah Sakit milik pemprov di mkassar (RS Labuang Baji, RS Haji, RS ertiwi, RS Fatimah) ujung tombak pelayanan di Rumah sakit ada di tangan koass, residen dan perawat magang. Mereka memang menjalani pendidikan di sana, tapi harus diakui mereka juga berfungsi sebagai tenaga teknis pelayanan di rumah sakit (bahkan fungsi pelayanan seorang residen dan koass terasa lebih besar porsinya dibanding porsi pendidikannya). Sementara dokter-dokter dan perawat yang dimiliki oleh pemprov, tak lebih dari 30% dari total tenaga kesehatan di Rumah Sakit.

Apatah lagi, residen dan koass, serta perawat magang di sana bekerja siang malam untuk melayani pasien di sana, bahkan harus menginap di Rumah Sakit untuk tugas jaga tanpa pernah digaji sepeser pun. Di daerah-daaerah lain, koass dan residen bahkan diberikan tip oleh Rumah Sakit tiap mereka berdinas di Rumah sakit tersebut, karena menganggap residen dan koass telah memberikan jasa pelayanan di Rumah Sakit.

Harusnya, pemerintah sadar bahwa di atas segalanya, menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas dan terjangkau merupakan harga mati bagi pembangunan manusia Indonesia, Terlebih lagi pendidikan kesehatan. Karena tenaga-tenaga kesehatan terdidik inilah yang nantinya menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan di daerah. Kita tak mampu membayangkan jika kelak biaya pendidikan kesehatan makin mahal, maka lulusan-lulusan yang akan dihasilkan merupakan teaga kesehatan yang profit oriented (setela lulus dari pendidikan, orang akan cenderung berpikiran megembalikan modal yang telah dibayar selama pendidikan).

Ke mana arah kebijakan pemerintah hari ini?

Kisruh retribusi ini harusnya menjadi cerminan bagi kita semua, betapa pembangunan di sulsel hari ini berjalan tanpa arah. Di tengah ruwetnya masalah pendidikan dan kesehatan di Sulsel (ingat, angka buta aksara dan tingkat penderita penyakit infeksi, Sulsel masih “berhasil” masuk lima besar). Adalah sebuah kesalahan besra jika kita kemudian mengorbankan pendidikan dan kesehatan di SulSel hanya untuk mnegejar PAD belaka.

Lebih miris lagi kemudian, ketika kita coba melihat arah pembangunan pemerintah provinsi selama 3 tahun belakangan yang cenderung mengutamakan program dan bangunan-bangunan simbolis yang milyaran bahkan trilyunan rupiah sementara pembangunan pendidikan dan kesehatan yang menjadi pilar utama pembangunan bangsa ini masih compang camping di sana sini. Pembangunan CPI (central point of Indonesia), reklamasi tanjung Bunga, dan rogram-program lain memang terkesan megah dan lux jika dilihat dari luar, akan tetapi bukankah pembangunan pendidikan dan kesehatan kita jauh lebih urgen untuk diselesaikan?
baca tulisan ini lebih jauh

manusia dan Sekolah

Cogito ergo sum
Saya berpikir maka saya ada.
(rene Descartes )


Walaupun saya tak sepenuhnya sependapat dengan ucapan rene Descartes di atas, Namun saya tahu bahwa ucapan rene Descartes di atas ada benarnya. Manusia pada dasarnya diciptakan tuhan denan akal. Akal inilah yang membedakan manusia dengan mahluk ciptaan tuhan yana lainnya . Dengan akal ini manusia bias berpikir, dan dengan kemampuan berpikir itu manusia bisa belajar berbagai hal.

Belajar merupakan cara manusia untuk menyempurnakan kemuliaannya sebagai mahluk tuhan yang diberi tanggung jawab sebagai khalifah di muka bumi. Maka setiap manusia pasti dalam dirinya telah tertanam naluri untuk belajar. Dari sejak zaman primitive hingga abad mutakhir sekarang ini manusia terus berpikir`dan akhirnya lahirlah kebudayaan yang dapat kita lihat dan nikmati`seperti sekarang ini.

Seiring perkembangan kebudayaan itu, dan untuk memudahkan pengembangan kebudayaan bagi manusia, dibentuklah sekolah. Sejak zaman polis yunani, lembaga-lembaga belajar (sekolah) didirikan hingga sekarang. Bahkan sekarang sekolah seakan-akan telah menjadi bagian dari siklus kehidupan manusia yang harus dilalui oleh setiap orang yang ingin disebut manusia modern.

Begitu terstrukturalkannya sekolah (apapun ingkatannya, SD, SMP, SMA, Perguruan tinggi, akademi, politeknik), sampai –sampai banyak orang yang menganggap lembaga pendidikan formal tersebut sbagai tempat untuk mencari pengetahuan praktis dan final yang langsung dapat diterapkan untuk mendapatkan tujuan –tujaun pragmatis. Padahal sekolah (dalam konsep yang lebih holistik) adalah tempat bagi manusia untuk melakukan pencarian (baca:belajar) makna hidup secara terus-menerus.

Dapat kita lihat sekarang, kecenderungan spesialisasi pegetahuan berkembang dengan pesat. Ilmu pengetahuan kita tercenderung terkotak-kotakkan antara sains, budaya dan social. di SMA dibuat kelas ilmu alam, ilmu sosial dan ilmu bahasa. Di peguruan tinggi mahasiswa di jurusan sains cenderung tidak tertarik untuk belajar kebudayaan dan sosial . padahal bagi anda yang berkecimpung di dunia sains (apalagi untuk disiplin ilmu kesehatan) anda pasti tahu bahwa kesehatan manusia (sains) tidak bisa dilepaskan dari tradisi (budaya) dan kesjahteraan(sosial, politik, ekonomi)

Belajar pada dasarnya butuh keterbukaan pikiran kita tentang sebuah konsep yang lebih holistik. Belajar adalah proses yang berlangsung seumur hidup. dengan demikian, kemuliaan manusia sebagai khalifah akan terjaga.
baca tulisan ini lebih jauh

Budaya Menulis di FK

Budaya membaca dan menulis dalam dunia kemahasiswaan dan dunia akademis perguruan tinggi merupakan suatu keniscayaan. Tradisi akademik mahasiswa dan kesadaran intelektual menyebabkan budaya dan kesadaran literatur* mahasiswa jauh lebih tinggi dibanding dengan jenjang akademik maupun profesi lain.
Dalam dunia akademik, mahasiswa kedokteran (sepanjang yang saya lihat) adalah kalangan mahasiswa yang paling tinggi intensitas membacanya. Selain karena tuntutan akademik yang memang mengharuskan seperti itu, hal ini juga disebabkan karena mahasiswa-mahasiswa di fakultas kedokteran cenderung (lagi-lagi subjektif) adalah lulusan dari SMA-SMA favorit dengan tradisi membaca yang lumayan bagus. Tradisi membaca mahasiswa di FK ini seharusnya menjadi sebuah modal yang bdesar dalam mengembangkan dunia tulis-menulis (baca:dunia literatur) di FK.

Namun, yang perlu saya ungkapkan adalah bahwa dalam hal dunia kelembagaan mahasiswa, tradisi membaca mahasiswa di fakultas kedokteran masih sangat kurang. jika dibandingkan dengan teman-teman mahsiswa di fakultas lain, tradisi membaca literatur-literatur pergerakan mahasiswa di fakultas kedokteran masih sangat jauh ketinggalan. Cobalah bertanya kepada teman-teman mahasiswa fakultas kedokteran, buku-buku apa yang mereka sealalu baca tiap hari! jawaban yang akan anda terima tidak akan jauh-jauh dari seputar buku anatomi sobotta, Biokimia Harper, patologi robbins, Guyton, Harrison dan buku-buku kedokteran lainnya. Coba tanyakan apakah mereka pernah membaca buku-buku bacaan dari penulis-penulis pergerakan yang notabene merupakan bacaan wajib bagi mahasiswa semacam Sayyid Quthb, Pramoedya Ananta Toer, Eko Prasetyo, fajroelrahman?
memang, mahasiswa tidak murni patut disalahkan atas fenomena ini. Ada banyak variabel yang mempengaruhi. Jadwal akademik yang begitu padat, yang sampai mencerabuti mahasiswa dari budaya-buadaya intelektual semacam diskusi, kajian, membaca ataupun menulis. Belum lagi kegiatan-kegiatan kemahsiswaan hari ini, harus kita akui semakin jauh dari budaya-budaya literer. kegiatan-kegiatan kemahasiwaan yang mendominasi dunia kemahasiswaan kita sebagian besar adalah kegiatan-kegiatan event organizerisme.
Di fakultas kedopkteran (unhas) sendiri, saya melihat ada potensi besar dalam dunia literatur dan tulis menulis. ada lembaga pers mahasiswa Sinovia, yang mewadahi mahasiswa yang berminat di dunia penulisan dan pers. Kemudian ada MYRC (medical Youth Researcher Club) untuk penulisan ilmiah dan jurnal bekala. Cuma, dibandingkan dengan lembaga penulisan, pernerbitan atau lembaga pers mahasiswa lain, LPM sinovia masih dirasa kurang mewakili suara mahasiswa, yang akhir-akhir ini menunjukkan progresivitas. mungkin kita bisa melihat lembaga-lembaga penulisan lain di tingkat universitas yang lebih progresif dan berani.
Sebenarnya, lembaga internal (dalam hal ini Badan Eksekutif Mahasiswa) diharapkan menjadi pihak yang bisa menstimulasi budaya menulis mahasiwa di fakultas kedokteran. jika kita mau melihat keluar, lembaga kemahaisswaan di beberapa fakultas lain, baik bem maupun beberapa himpunan mahasiswa menjadikan budaya membaca sebagai bagian dari prosesi pengakaderan di lembaga mereka. Dalam proses pengkaderan di beberapa lembaga kemahasiswaan tersebut, kajian literaturtmerupakan sebuah proses pengakderan yang wajib diikuti oleh caloan anggota lembaga. Hanya, memang agak sedikit rumit, ketika kita berusaha menjadikan kesadaran menulis sebagai bagian dari proses pengkaderan, jika mahasiswa (termasuk pengurus lembaga sendiri) memiliki kesadaran literatur yang rendah.

Adalah sebuah tugas berat, bagi tidak hanya lembaga pers, tapi juga setiap lembaga internal untuk menumbuhkan kesadaran literatur di fakultas ini. Kajian buku kontemporer, bedah buku, diskusi terbuka mengenai buku-buku kontroversi hendaknya menjadi bagian dari prosesi pengkaderan di lembaga kemahasiswaan di fk.
baca tulisan ini lebih jauh