Hidup sebagai orang Indonesia di hari ini mungkin adalah hidup yang menggemaskan, mengapa? Karena di tengah segala kekacauan. Ketertinggalan, dan kemiskinan di negeri ini, kita sebenarnya merasa bahwa bagnsa ini sesungguhnya punya modal besar untuk maju dan berkembang jauh melebihi bangsa lain. Mengutip kata-kata Jusuf Kalla saat talkshow di Baruga Pettarani beberapa waktu lalu, “kita kadang-kadang gemas juga melihat bangsa ini. Mengapa? Karena kita melihat bangsa ini tidak maju-maju, padhal kita tahu bangsa ini bisa jauh lebih maju!”. Ya, apa yang tak dimiliki Indonesia kita ini? Tenaga kerja dalam jumlah besar, sumber daya alam melimpah, posisi strategis dalam percaturan geopoliik dunia. Lalu?
Ketika pembahasan sudah sampai di tiik ini, maka ujung-ujungnya kita akan sampai di satu kesimpulan, bahwa bangsa ini kurang pemimpin. Di beberapa kali forum seminar, forum diskusi, forum kuliah, ketika membahas apa yang kurang dari bangsa ini untuk mampu memberdayakan semua potensi yang dmiliki, semua akan sampai pada satu kesimpulan, bahwa bangsa ini butuh pemimpin (bukan hanya pemimpin politik, namun juga pemimpin di segala bidang kehidupan) yang mampu mengarahkan gerak bangsa ini. Kita merindukan sosok Dahlan Iskan sebagai pemimpin BUMN, yang mampu menerobos kebuntuan dan mis-efisiensi perusahaan-perusahaan negara, kita butuh sosok Djoko Widodo yang di tubuh pemerintahan unuk menerobos kekakuan dan keangkuhan prosedur birokrasi kita, kita butuh ketegasan dan kecerdasan sosok Mahfud MD untuk menyelesaikan sengketa-sengketa produk hokum di negeri ini, kita butuh sosok Anies Baswedan untuk memulai kepeloporan di dunia pendidikan. Di bidang kehidupan lainnya, di bidang industry, perdagangan, pelayanan kesehatan, kepolisian, dan berbagai bidang kehidupan lainnya, kita burtuh sosok itu, tak hanya untuk mengarahkan kita dan menemukan jalan keluar dari problemaatika bangsa ini yang begitu sistemik, tapi lebih dari itu model kepemimpinan seperti mereka dibutuhkansebagai role model bagi jutaan anak bangsa yang selama bertahun-tahun hilang kepercayaan terhdapa pemimpin bangsanya.
Problem besarnya adalah, bahwa (kita semua sudah tahu) tak ada pemimpin yang lahir begitu saja. Seorang pemimpin di abad 21 ini,tak akan pernah muncul tiba-tiba seperti munculnya tomanurung dalam tradisi kepercayaan orang bugis. Pemimpin mestilah lahir dari proses panjang yang tentu saja melelahkan, mungkin mirip proses pembentukan Gatot Kaca di kawah candradimuka, seperti dalam legenda pewayangan. Di Abad 21, kawah candradimuka, loyang bagi pembentukan pemimpin masa depan ini, tentu saja harus dipersiapkan. Karakter seorang Dahlan Iskan, Jusuf Kalla, Mahfud MD, Baharuddin Lopa (alm), dan teladan-teladan bangsa kita yang lain, terbentuk dari pergulatan panjang yang akhirnya membentuk cara berpikir, mental model, visi, dan kekuatan kepemimpinan mereka.
Nah, di sinilah lembaga mahasiswa harusnya bisa mengambil peran. Di tengah system pendidikan kita yang semakin kering dan acuh terhadap pembentukan mahasiswa yang seutuhya, lembaga mahasiswa harusnya mampu menjadi kawah candra di muka bagi pembentukan pemimpin masa depan. Pemimpin masa depan Indonesia adalah pemimpin yang lahir dari proses panjang yang harusnya dimulai sejak muda.
Di titik inilah, lembaga mahasiswa menjadi urgen dan punya peran strategis. Kegiatan-kegiatan kemahasiswaan harusnya mampu menjadi wadah pembentukan karakter mahasiswa (character building), menjadi ajang melatih kapasitas kepemimpinan (capacity of leadership building), sekaligus wadah membangun jejaring dan relasi (connection building). Kata kunci 3 C (character-capacity of leadership-connections) inilah yang kelak akan membentuk pemimpin unggul masa depan.
Masalahnya adalah masih banyak lembaga mahasiswa yang missed-vision, kehilangan kemampuan untuk melihat jauh ke masa depan. Gejala missed-vision ini terlihat dari kegiatan-kegiatan kemahasiswaan yang kadang-kadang terjebak dalam romantisme dan ritual masa lalu yang kehilangan ruh, terjebak dalam kegiatan-kegiatan yang meminggirkan akal sehat, budaya bernalar dan pembangunan karakter. Coba kita pikir-pikir, setiap tahun, begitu banyak kegiatan mahasiswa yang diselenggarakan, namun banyaknya jumlah kegiatan kemahasiswaan itu tak berbanding lurus dengan kapasitas manusia. Setiap tahun, tawuran tetap marak, jumlah lulusan perguruan tinggi yang menjadi pengangguran tetap tinggi. Tanpa bermaksud men-simplifikasi masalah, factor utama rendahnya kualitas mahasiswa kita salah satunya adalah kegiatan kemahasiswaan yang tak berorientasi pada pembangunan manusia.
Mestinya kegiatan-kegiatan kemahasiswaan adalah kegiatan yang membangun kapasitas manusia; bukannya malah melihat manusia tak lebih dari mesin-mesin pekerja organisasi. Sungguh aneh, masih banyak organisasi mahasiswa yang menganggap kegiatan kemahasiswaan adalah untuk membesarkan organisasi mahasiswa, padahal harusnya kegiatan-kegiatan kemahasiswaan adalah untuk membesarkan “manusia”nya. Yang lebih aneh lagi, masih banyak pengelola institusi pendidikan tinggi yang menganggap kegiatan kemahasiswaan hanya sekedar untuk mengisi waktu luang mahasiswa. pengelola institusi semacam ini sibuk mengejar akreditasi institusi, sibuk mengejar kuantitas lulusan, atau malah sibuk mengejar kuantitas penerimaan dana institusi, namun abai pada pembangunan 3-C mahasiswanya.
Pengelolaan kemahasiswaan semacam ini mengingatkan kita pada pengelolaan pembangunan ala orde baru, sebuah model pembangunan yang mengejar pertumbuhan fisik, model pembangunan yang mengejar indicator-indikator makro, namun lupa pada pembangunan kualitas sumber daya manusia, juga lupa pada pembangunan budaya dan karakter bangsa. Pada akhirnya, pembangunan dengan model semacam itu, menumbuh kembangkan budaya korupsi, mematikan daya saing, dan merapuhkan ketahanan bangsa. Gejala-gejala budaya korupsi, tidak berdaya saing, dan rapuh-nilai itu terlihat pula dalam kualitas mahasiswa kita.
Terakhir, kita mungkin perlu ingat perkiraan para ahli. Dua puluh tahun yang akan datang diperkirakan akan menjadi puncak pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dua puluh tahun lagi, Indonesia akan memiliki jumlah penduduk usia produktif yang paling tinggi. di tahun-utahun ini, Indonesia juga diperkirakan akan memiliki jumlah penduduk kelas menengah paling tinggi .Di tahun-tahun ini, angka konsumsi penduduk yang menunjang pertumbuhan ekonomi akan mencapai tingkat paling tinggi,. Di tahun-tahun inilah, Indonesia diharapkan mampu bertransformasi dari negara berkembang menjadi negara maju, karena setelahnya Indonesia diperkirakan akan mengalami beban kependudukan yang berat; penduduk usia tua yang non produktif meningkat, kelas menengah menurun (hal yang sekarang dialami Jepang). Nah, jika generasi yang akan memegang peran strategis di tahun-tahun emas ini, tak dipersiapkan dengan baik, mungkin kita akan ketinggalan momentum dan tak berajak dari kondisi memprihatinkan seperti sekarng ini.
baca tulisan ini lebih jauh
Somehow True
2 tahun yang lalu