Beberapa hari ini, berita kericuhan di Sampang, Madura menghiasi hampir seluruh media di tanah air. Apa sebenarnya yang terjadi di sana? Dari televisi dan surat kabar, kita semua menyaksikan gambar yang sama. Kita semua mendapat berita yang sama. Dua orang meninggal, belasan orang luka-luka, puluhan rumah dibakar, dan ratusan orang mengungsi dalam ketakutan.
Dan (saya berharap) kita semua juga merasakan kengerian dan rasa teriris yang sama saat menyaksikan gambar-gambar tersebut. Gambar anak-anak yang menangis ketakutan, ibu-ibu yang kehilangan keluarga dan rumahnya. Oleh Tuhan, kita dianugerahi perasaan yang sama, perasaan yang tak pernah setuju terhadap segala hal yang bernama pembunuhan, pada segala hal yang bernama penghilangan dan pengrusakan hak orang lain. Namun anehnya, kita sungguh-sungguh akan berbeda sikap saat mendengar bahwa konflik yang terjadi di Sampang itu adalah konflik yang disebabkan oleh perbedaan pendapat dalam agama. Tiba-tiba saja, semua perasaan terluka, semua perasaan teriris saat menyaksikan korban dari tragedi Sampang itu, lenyap saat kita tahu bahwa kekerasan yang terjadi di sana itu adalah atas nama membela agama dan Tuhan. Ya, semua rasa kemanusiaan kita, bahkan semua akal sehat kita sebagai manusia, harus kita pinggirkan atas nama agama dan iman.
Namun benarkah, apa yang dilakukan oleh sekelompok orang di Sampang sana itu adalah atas nama Tuhan ? atas nama Islam? Atas nama iman? Entahlah, saya tak punya cukup keberanian untuk mengklaim bahwa apa yang dilakukan orang-orang tersebut tidak mewakili islam dan Tuhan, tapi yang pasti tindakan-tindakan biadab itu tak pernah mewakili saya sebagai seorang umat islam. Orang-orang yang mengacung-acungkan clurit dengan penuh amarah, orang-orang yang membakar rumah orang-orang yang tak berdaya, orang-orang yang membiarkan seorang perempuan menjadi janda, dan anak-anak menjadi yatim tanpa haq, saya tak melihat wajah islam (yang saya percaya) di sana, dan tindakan-tindakan itu tak akan pernah mewakili perasaan saya sebagai seorang islam.
Karena itu, saya tak pernah setuju kalau konflik di sana itu selalu “ditampilkan” sebagai konflik islam. Saya agak gerah, jika konflik itu disebut sebagai konflik antara syiah dan sunni, karena sebagai seorang pengikut sunnah nabi (ahlusunnah) saya tak pernah setuju dengan semua kekerasan itu. Mungkin perasaan saya, sama dengan perasaan rakyat Amerika, saat mereka menyaksikan pasukan-pasukan Bush membunuhi orang-orang di Irak dan Afganistan. Ya, tak semua rakyat Amerika sepakat dengan apa yang dilakukan oleh Bush, dan karena itu Bush sungguh tak pernah mewakili Amerika. Seperti Hitler tak pernah mewakili perasaan seluruh rakyat Jerman, Stalin tak pernah mewakili perasaan seluruh rakyat Rusia, dan Hideki Tojo tak pernah mewakili perasaan seluruh rakyat jepang.
Lalu, jika tak mewakili islam, tindakan-tindakan kekerasan itu mewakili apa? Entahlah, saya tak tahu. Yang saya tahu, saat Bush memerangi rakyat Iraq dan Afganistan, ada rasa keangkuhan di sana. Ya, sebuah kesombongan untuk menunjukkan pada dunia, bahwa inilah kami bangsa Amerika, bangsa yang berhak menjadi polisi dan hakim di dunia. Saat Hitler mengumumkan perang kepada seluruh Eropa, ada keangkuhan di sana, bahwa inilah kami bangsa arya, ras unggul yang diberi hak oleh Tuhan untuk memimpin dunia, ketika Tojo memutuskan memulai perang di Asia-Pasifik, juga ada keangkuhan di sana, bahwa inilah kami bangsa Nippon, bangsa yang diberi kepercayaan oleh dewa untuk memimpin Asia.
Anda boleh memberikan komentar apa saja atas apa yang saya tulis ini. Yang pasti, itulah yang saya rasakan, itulah yang saya lihat. bahwa dari semua kekerasan yang pernah saya lihat (apapun latar belakangnya), selalu ada keangkuhan di sana. Agama, Ras, Negara, iman, bahkan Tuhan, mungkin hanyalah “term-term” yang sering kita jadikan “alasan pembenaran” untuk mempertontonkan kehebatan kita. Mungkin itu jugalah yang saat ini sedang dipertontonkan rezim militer di Myanmar atas orang-orang Rohingya, mungkin itu jugalah yang saat ini sedang dipertontonkan oleh rezim Bashar Al-assad di Suriah atas rakyatnya.
baca tulisan ini lebih jauh
Somehow True
2 tahun yang lalu