Spirit Sumpah Pemuda dan Relevansinya dalam Permasalahan Bangsa Ini

Beberapa hari lagi, kita akan sampai di tanggal 28 oktober. Sebuah hari, yang oleh bangsa ini banyak diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda. Bukannya bermaksud latah, dengan ikut-ikut menulis tentang sumpah Pemuda, namun merefleksikan proses kelahiran sebuah peristiwa sejarah dan menarik relevansinya ke dalam realitas kehidupan kita secara praktis, selain merupakan bentuk penghormatan kepada sejarah, juga sekaligus merupakan cara kita menghadirkan perubahan bagi bangsa ini.

Gagasan penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua yang kelak melahirkan Sumpah Pemuda berasal dari Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggotakan pelajar dari seluruh indonesia. Panitia kongres yang diketuai Soegondo Atmowiloto menghadirkan perwakilan dari berbagai perhimpunan pemuda Indonesia yang waktu itu masih banyak merupakan representasi dari entitas-entitas kesukuan dan keagamaan. Atas inisiatif PPPI, kongres dilaksanakan di tiga gedung yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat. Sehingga menghasilkan Sumpah Pemuda. Tema-tema besar yang diusung dalam kongres pemuda itu adalah nasionalisme, pendidikan dan kepanduan.

Di akhir kongres inilah dilakukan pembacaan teks hasil kongres yang belakangan disebut sebagi Sumpah Pemuda. Pembacaan Sumpah pemuda ini kemudian menggaung ke suluruh jajahan hindia Belanda, menjadi topik pembicaraan dan diskusi di berbagai forum, di berbagai studi klub, dan dalam waktu cepat melahirkan gelombang semangat nasionalisme yang kelak di kemudian hari melahirkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Proses kelahiran sumpah pemuda yang dibacakan di Gedung Indonesisch Huis Kramat , 82 tahun silam ini, tidaklah lahir dari sebuah ruang yang hampa. Kelahirannya bukanlah hanya sebuah rangkaian proses sejarah yang determinis dari kejemuan masyarakat terhadap kondisu bangsa dan realitas penjajahan bangsa Eropa atas bumi nusantara namun juga merupakan hasil dari pergolakan pemuda sekaligus kualitas pemuda waktu itu.

Ada dua hal yang dimiliki pemuda Indonesia waktu itu yang mejadi titik tonggak kelahiran sumpah pemuda, yaitu kemampuan berpikir jauh ke depan dan keberanian mengambil sikap atas nasib bngsa sendiri. kemampuan berpikir jauh ke depan dan melompati mainstream pemikiran tradisional waktu itu yang masih bercirikan semangat kesukuan dan semangat keagamaan, merupakan hal yang baru . Begitu juga ide untuk menciptakan lahiranya sebuah negara-bangsa yang kelak bernama Indonesia (seperti tercantum dalam teks pidato yang dibacakan di kongres waktu itu oleh Moh.Jamin) merupakan sebuah terobosan ide yang belum terpikir oleh para generasi sebelumnya.

Bahkan lebih jauh lagi, kemampuan berpikir melampaui zamannya in telah dibawa oleh pemuda itu ke wilayah-wilayah yang jauh lebih universal, yaitu kesetaraan semua manusia. Penolakan terhadap segala bentuk kolonialisme dan dan penindasan sebuah bangsa atas bangsa lain merupakan hal-hal yang langka bagi pemuda-pemuda waktu itu yang bertahun-tahun hidup dalam feodalisme, baik di zaman kerajaan agraris hingga zaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda.

Yang juga menjadi hal penting dalam proses kelahiran sumpah pemuda adalah Keberanian mengambil sikap untuk menyatakan melawan entitas Hindia belanda yang disematkan oleh para penajah. Dengan lantangnya para pemuda meneriakkan sumpah Pemuda kemudian dilanjutkan dengan menyanyikan lagu Indonesia raya yang digubah oleh WR. Supratman, padahal isi Sumpah Pemuda dan lagu Indonesia Raya tersebut tidak hanya merupakan pernyataan akan persatuan bangsa dari seluruh nusantara, lebih jauh dari itu juga merupakan pernyataan terang-terangan akan cita-cita mendirikan sebuah negara bangsa yang merdeka dan berdaulat.

Pernyatan cita-cita nasionalisme ini tidak hanya mendapat tantangan dari pemerintah kolonial waktu itu yang mengawasi semua gerak gerik pemuda, namun juga mendapat tantangan berat dari pertanyaan apakah bangsa ini telah cukup mampu untuk berdiri di atas kaki sendiri. Namun dengan tegas para pemuda menjawab bahwa rakyat Indonesia mampu untuk berdiri sebagai sebuah bangsa yang berdaulat. Tujuh belas tahun kemudian, cita-cita besar ini benar-benar terwujud dengan pernyataan proklamasi tahun 1945 oelh Soekarno-Hatta.

Hari ini kita hidup dalam sebuah negara yang kehilangan karakternya sebagaia sebuah bangsa yang terhormat dan negara yang berdaulat. Kebudayaan kita yang lahir dari peradaban yang berusia ribuan tahun, hilang begitu saja dikikis oleh hegemoni budaya barat. Gejala disintegrasi bangsa dan konflik-konflik horizontal antar warganegara adir di mana-mana. Sebagai sebuah negara yang berdaulat, dengan mudahnya wilayah kita dicaplok negara lain. sebagai sebuah entitas politik, negara kita kehilangan taji dalam pergaulan internasional.

Gejala kehilangan karakter dan harga diri sebagai sebuah bangsa ini merupakan akibat dari ketidak mampuan negeri ini untuk menjadi sebuah negara-bangsa yang mandiri. adalah nyata bagi kita semua hari ini, bahwa dalam berbagai bidang kehidupan, kita mengalami ketergantungan (dependensi) terhadap bangsa lain.

Globalisasi ekonomi telah menyeret bangsa ini ke dalam dependensi terhadap kekuatan-kekuatan ekonomi asing, yang celakanya tidak dibarengi dengan penguatan terhadap kekuatan-kekuatan ekonomi mikro di skala local. Akibatnya, begitu mudahnya ekonomi kita disapu badai krisi di tahun 1997 dan kesenjangan kesejahteraan semakin dalam. Lebih jauh lagi permsalahn pelik terkait kemndirian bangsa ini telah menghasilkan prahara politik dan sosial yang berkepanjangan. Di bidang politik, campur tangan asing terhadap kebijakan-kebijakan negara sangat nyata terlihat.

Kembali ke semangat Sumpah pemuda tadi, kemampuan berpikir jauh ke depan dan melompati zaman merupakan sebuah spirit yang harusnya dihadirkan dalam realita permasalahan bangsa.karena sekali lagi, perubahan tidaklah lahir dari proses dialektika sejarah yang determinis. Kemampuan berpikir melampaui mainstream pemikiran umum seperti yang dimiliki oleh para pemuda angkatan 20-an harusnya bias menjadikan kita mampu memberikan sumbangan-sumbangan yang kreatif dan inovatif bagi perubahan bangsa.

Dan lebih dari itu, juga dibutuhkan keberanian para pemuda untuk menyatakan sikap terhadap persoalan mendasar bangsa ini. Permasalahan kemandirian bangsa kita, baik dalam bidang ekonomi, social maupun politik hanya bisa diselesaikan dengan ketegasan sikap. Di bidang ekonomi misalnya, kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat di Indonesia hanya bisa diwujudkan denan melaksanakan secara konsisten konsep ekonomi kerakyatan yang mandiri. Begitu juga di bidang politik, kebijakan yang tegas dan merdeka dari intervensi dari kekuatan asing lah yang bisa mengangkat harga diri kita sebagai sebuah bangsa.

Hari Sumpah pemuda bagi sebuah bangsa bernama Indonesia bukanlah hari yang lahir begitu saja. Ia lahir dari pergolakan, tidak hanya fisik, tapi juga pergolakan pemikiran yang alot. Beberapa di antara kita menjadikannya sebagai ritual yang kosong , dengan hanya sekedar diepringati, dijadikan tema-tema diskusi, dijadikan tema-tema aksi tanpa pernah kita benar-benar merefleksikan releansi semangat sumpah pemuda dalam tantangan bangsa hari ini.

Selamat Hari Sumpah Pemuda..
baca tulisan ini lebih jauh

NDP Lama vs NDP Baru; Benarkah Tak Bisa Dipertemukan?

Perdebatan dalam tubuh HmI terkait dengan penggunaan dua versi NDP (NDP lama versi kongres malang tahun 1969 dan NDP beru versi kongres Makassar tahun 2006) dalam pengkaderan hari ini semakin alot dan pelik. Jika tidak diselesaikan secepatnya, maka permasalahan ini akan menjadi semakin besar bahkan bukan tak mungkin akan menyebabkan perpecahan di tubuh HmI. Semua pihak yang masih peduli dan percaya pada kekuatan HmI tentu saja tidak mau peristiwa terpecahnya HmI menjadi HmI Dipo dan HmI MPO beberapa tahun silam terulang kembali.

Benarkah permasalahan adanya dualism versi NDP ini tak bisa diselesaikan? Mari kita mencoba melihat ke belakang, terkait latar belakang penyusunan dua versi NDP ini. NDP yang disusun oleh Nurkholish Madjid (mantan ketua umum PB HmI dua periode) berangkat dari kegalauan beliau akan tidak adanya konsep seragam yang baku dan representative untuk digunakan dalam semua pengkaderan HmI. Kegelisahan ini memuncak setelah Nurkholish Madjid (Cak Nur) melakukan kunjungan ke Amerika dan Negara-negara islam di timur tengah pada penghujung tahun 60-an. Dalam perjalanannya itu, Cak Nur melihat bahwa ajaran-ajaran dan praktek-praktek keberagamaan islam di seluruh penjuru dunia ternyata sangat beragam satu sama lain. Oleh karena itu, sepulangnya ke Indonesia Cak Nur merasa bahwa inti-inti ajaran agama islam yang harusnya menjadi dasar bagi seluruh gerak langkah umat islam perlu disarikan ke dalam sebuah format resmi agar bisa diajarkan secara sistematis dalam kegiatan-kegiatan pengkaderan HmI. Karena hal inilah, cak Nur hampir menamai NDP ini dengan nama Nilai-nilai dasar Islam, namun karena takut jika nantinya NDP ini di kemudian hari menjadi tafsir tungggal atas ajaran islam, maka Cak Nur menyebutnya sebagai Nilai dasar perjuangan saja.

Puluhan tahun setelah Nilai dasar perjuangan ini dipakemkan, seiring dengan perkembangan tantangan zaman, muncullah banyak keluhan dari hampir semua daerah di Indonesia bahwa banyak hal-hal baru yang tak mampu lagi dijawab oleh NDP lama ini. Di berbagai cabang, penafsiran kader dan metode penyampaian NDP sudah berbeda-beda, di Badko Jabar dan sekitarnya msialnya, dikenal adanya metode revolusi Kesadaran, di Badko Sulselrabar dikenal adanya dialog Kebenaran, dan berbagai metode penyampaian NDP lainnya. Di berbagai daerah juga muncul keluhan bahwa NDP lama sudah susah dimengerti oleh kader HmI.

Memang, jika kita lihat, usia NDP lama yang telah 40 tahun digunakan dalam kegiatan pengkaderan HmI merupakan usia yang telah cukup lama dan meniscayakan dibutuhkannya perbaikan dan rekonstruksi. Beberapa kader bahkan berkelakar bahwa NDP ini kadang-kadang diperlakukan seperti Al-Quran buruk: dibaca enggan karena tidak paham, tapi kalau dibuang juga takut kualat. Cak Nur sendiri juga pernah mengakui bahwa ekspektasinya sewaktu menyusun NDP pertama kali ialah bahwa NDP yang disusunnya itu bisa digunakan dalam waktu dua puluh tahun, sementara sekarang usia NDP sudah empat puluh tahun.

Jadi, pada dasarnya perbaikan dan rekonstruksi NDP memang merupakan hal yang rasional dan wajar dilakukan, apalagi bagi organisasi seperti HmI yang terkenal akan kultur intelektual dan dinamisnya. Namun letak masalahnya adalah sikap kekanak-kanakan kitadalam mempertahankan NDP yang kita gunakan masing-masing.
Jika saya perhatikan, letak penolakan orang-orang yang menggunakan NDP lama terhadap NDP baru disebabkan karena dua issu besar. Pertama, karena faktor legalitas proses penyusunannya yang tidak konstitusional dan yang kedua adalah karena isi materinya yang katanya lebih condong ke mazhab tertentu.

Factor legalitas ini banyak dipertanyakan karena keabsahan tim delapan yang merupakan penyususn resmi NDP baru tidak pernah disahkan secara resmi oleh PB, apalagi kemudian terungkap bahwa penyusunan NDP ini lebih banyak merupakan pemikiran tunggal Arianto Ahmad (seorang kader HmI dar cabang Makassar). Bagi saya penolakan NDP karena proses penyusunannya ini merupakan hal yang lucu. Harusnya, sebagai seorang kader HmI yang selalu mengaku mengedepankan rasionalitas dan berpikiran terbuka, permasalahan tentang abash atau tidaknya tim penyusun ini tak perlu dibesar-besarkan. Siapapun yang menyusun NDP ini selama sesuai dengan rasionalitas dan Alquran/sunnah maka ia wajib diterima. Tak peduli mau ditulis oleh tukang becak, sopirpete-pete, ataupun seorang professor selama ia sesuai dengan kebenaran maka wajib hukumnya kita terima.

Penolakan terhadap NDP baru karena terlihat lebih condong ke mazhab pemikiran tertentu dalam islam pun sebenarnya sangat aneh, karena sepanjang yang saya tahu NDP tak pernah berbicara tentang mazhab. Perbedaan mazhab adalah perbedaan tafsiran manusia di wilayah syariat, sedangkan NDP tak membahas tentang syariat. Kalaupun beberapa pemikiran dalam NDP baru, serta penyusun-penyusunnya dikatakan lebih dekat dengan mazhab-mazhab tertentu dalam islam, bukankah kita selama ini meyakini bahwa pendapat dari mazhab apapun, selama tidak bertentangan dengan rasionalitas dan Alquran/Sunnah maka wajib kita terima? Cak Nur sendiri, orang yang menyusun NDP lama, di masa hidupnya banyak ditolak pemikirannya karena dituduh berpikiran sekuler dan kebarat-baratan. Toh tuduhan itu tidak menjadikan kita menolak sosok Cak Nur dan pemikiran-pemikirannya.

Lalu benarkah NDP ini tak bisa dipertemukan. Jawabannya, iya, jika masih tetap mempertahankan sikap arogansi intelektual kita, jika semua orang masih merasa terlalu hebat dan pintar untuk menurunkan ego.

Pada dasarnya, perbedaaan antara NDP lama serta NDP baru terletak dalam sistematika penyusunan dan pendekatannya dalam menemukan kebenaran. konten-konten materi teologis (yang terdiri dari bab I hingga bab IV) dalam NDP baru banyak dipengaruhi oleh cara berpikir metafisika islam yang dikembangkan oleh pemikir-pemikir islam kontemporer, beberapa di antara pemikir-pemikir tersebut seperti Muhammad Baqir Al Shadr dan Mulla Shadra (yang banyak terlihat dalam bagian-bagian teologis NDP baru) serta Ali syariati (yang banyak dijadikan referensi pemikiran dalam aspek sosiologis NDP baru). Karena pentingnya pemahaman metafisika Islam dalam bagian teologis NDP baru, makanya dalam NDP baru ditambahkan bab logika dan kerangka berpikir.

Dalam NDP baru, diajarkan bahwa keyakinan mestilah bersumber dari pengetahuan yang rasional. Karena itu dalam bab-bab awal NDP baru diajarkan bagaimana menemukan kebenaran rasional hingga sampai pada pembuktian kebenaran ajaran Islam. Sedangkan dalam NDP lama sendiri, tidaklah banyak membahas tentang metode rasional dalam membuktikan kebenaran ajaran Islam, tapi hanya menyarikan inti ajaran-ajarannya saja. Sedangkan pada wilayah Antropo-sosiologis (bab V sampai bab VIII), NDP lama tidak banayk berbeda dengan NDP baru.

Menemukan titik temu dalam materi NDP ini sebenarnya bukanlah hal yang sulit jika semua kader mulai dari tingkatan komisariat hingga tingkatan PB mau berniat baik menurunkan ego demi perbaikan HmI ke depan. Perdebatan tentang NDP ini jika dibiarkan berlarut-larut justru akan menimbulkan perpecahan di internalHmI dan tentu saja yang akan menjadi korban adalah adik-adik di bawah. Bukankah tantangan hari ini semakin berat dan rumit, yang membutuhkan waktu dan tenaga kita? jika kita masih saja terus berdebat di wilayah NDP ini, maka kita akan dilindas oleh perubahan zaman.
baca tulisan ini lebih jauh

Perdebatan tentang NDP; Perdebatan yang Kekanak-kanakan

Dalam dua tahun belakangan ini, ada sebuah hal menarik yang menjadi isu besar dalam dinamika permasalahan internal Himpunan Mahasiswa Islam (HmI), yaitu perdebatan tentang Nilai Dasar Perjuangan. Secara garis besar, dapat dikatakan bahwa perdebatan ini dimulai sejak disahkannya NDP baru di kongres HmI ke 26 di Makassar (makanya sering juga disebut sebagai NDP Makassar). Disebut baru, karena NDP ini merupakan pertama kalinya materi-materi NDP yang diajarkan di seluruh Indonesia diubah, sejak NDP ini pertama kali dirumuskan oleh Nurkholish Madjid (Cak Nur) pada tahun 1969. Pasca pengesahan penggunaan NDP baru ini sebagai dasar pengkaderan HmI menggantikan NDP versi Cak Nur (atau sering disebut sebagai NDP lama) rausan cabang yang ada di seluruh Indonesia terbelah dua, antara menggunakan NDP baru versi kongres Makassar dengan yang tetap menggunakan NDP lama.

Perdebatan tentang NDP mana yang digunakan dalam kegiatan-kegaiatan pengkaderan HmI ini berlangsung alot dan berlarut-larut dalam dua tahun belakangan. Mulai dari perdebatan warung kopi ala anak-anak HmI, menjadi bahan diskusi di forum-forum basic training hingga menjadi wacana panas yang bergulir pra-kongres.

Memang perbedaan pandangan dan pendapat dalam tradisi HmI bukanlah hal yang tabu dan janggal, bahkan budaya pluralitas dan perbedaan pandangan ini sendiri merupakan sebuah ciri khas sendiri bagi puluhan tahun pengalaman hidup HMI. Namun saya melihat bahwa ada yang salah dalam perdebatan tentang dualisme NDP di tubuh HmI selama ini. Perdebatan tentang NDP yang saya lihat cenderung mengarah pada perdebatan yang tidak substantif. Mengapa saya katakan tidak substantif, karena argumentasi-argumentasi yang sering muncul dalam perdebatan NDP bukanlah argumentasi yang menjelaskan tentang materi NDP yang berusaha dipertahankan oleh masing-masing pihak, melainkan argumentasi yang berusaha menyerang kelemahan NDP lain. Parahnya, saya melihat ada kecenderungan bahwa yang diserang dari NDP lain itu bukanlah isi NDP nya melainkan proses penyusunan NDP nya.

Coba kita perhatikan, Pihak yang mendukung NDP lama menyerang NDP baru karena proses penyusunannya yang katanya sangat tidak konstitusional, karena legalitas tim 8 sebagai penyusun naskah NDP tidak pernah diakui, Selain itu tim penyusunnya waktu itu dipengaruhi oleh pemikiran tunggal Arianto Ahmad yang disebut-sebaut sebagai pencetus ide NDP baru. Jika anda pernah membaca laporan hasil kerja tim sembilan (tim yang dibentuk oleh Pengurus Besar HmI untuk memverivikasi keabsahan NDP) serta naskah NDP yang dikirim ke seluruh cabang, maka kita bisa melihat bahwa argumentasi diberikan oleh Pengurus Besar (PB) HmI (yang belakangan menyatakan kembali ke NDP lama versi Cak Nur) merupakan penghakiman-penghakiman atas proses penyusunannya.

Di lain pihak, para pendukung NDP baru juga cenderung terjebak dalam perdebatan kekanak-kanakan ini dengan menyerang pemikiran Cak Nur sewaktu penyusunan NDP lama yang katanya banyak dipengaruhi oleh perjalanannya ke Amerika dan Timur Tengah.
Kenyataan ini diperparah dengan sikap tidak dewasa yang turut dipertontonkan oleh kader-kader HmI dalam polemik NDP ini. Sikap arogan dan merasa benar sendiri merupakan hal yang lumrah kita temui dalam perdebatan-perdebatan tentang NDP. Beberapa forum ilmiah yang harusnya bisa menjadi tempat dialog dan mempertemukan pendapat, berakhir tanpa menghasilkan apa-apa karena masing-masing pihak tidak dewasa dalam memandang permasalahan ini. Tokoh-tokoh dan sesepuh HmI yang harusnya bisa menunjukkan sikap dewasa dalam perdebatan ini juga malah ikut-ikutan menunjukkan arogansi intelektualnya, bahkan dalam beberapa hal menunjukkan taqlid buta dan pengagungan berlebihan terhadap Cak Nur.

Harusnya, perdebatan-perdebatan tentang NDP ini tidak dibawa ke perdebatan kusir yang tak kunjung usai melainkan dibawa ke forum-forum yang ilmah. Tapi tentu saja, menyediakan forum ilmiah juga tak akan pernah menyelesaikan masalah jika tak dibarengi dengan kedewasaan kader HmI dalam memandang persoalan ini. Bagi yang mendukung NDP lama versi kongres Makassar, silahkan ajukan rasionalisasi di forum ini secara ilmiah, jangan menutup diri terhadap perubahan, bukankah Cak Nur sendiri pernah bilang bahwa NDP hanyalah tafsiran beliau terhadap ajaran agama Islam yang selalu terbuka untuk dikritik dan diperbaiki. Yang mendukung NDP baru juga silahkan ajukan argumentasi dan berhenti memojokkan Cak Nur. Semua pihak juga harus berupaya persoalan NDP ini tidak dibawa ke ranah-ranah politis. Bagi para senior-senior HmI, juga harus menunjukkan kebijaksanaan dan keluasan cara berpikir, karena arogansi intelektual hanya akan membuat kita ditertawakan. Bukankah selama ini kader-kader HmI selalu mengklaim diri sebagai manusia-manusia intelektual, yang selalu bepikir inklusif dan dinamis?

Terakhir, saya ingin menyitir pendapat salah seorang pengurus PB HmI (saya lupa namanya) terkait dengan dualisme NDP ini. Beliau bilang, Jika kita ingin menyelesaikan masalah NDP ini secara serius, singkirkan NDP Cak Nur, singkirkan NDP Makassar, mari susun NDP baru. Mari melangkah maju, jangan mundur ke belekang.
baca tulisan ini lebih jauh

Anak-anak yang kehilangan masa kecil?

Minggu lalu, ada yang menarik dari kuliah hari pertama sistem tumbuh kembang dan geriatri. Bukan karena tempat kuliahnya yang lain dari biasanya ataupun jumlah mahasiswa yang ikut yang cuma 18 orang (yah maklumlah, kelas terminal). Namun yang menarik dari kuliah hari pertama itu, yang masih saya ingat hingga sekarang, adalah cerita dosen tumbuh kembang anak waktu itu.

Begini, setelah menjelaskan konsep dan aspek-aspek medis dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, dosen bercerita tentang pasiennya beberapa waktu lalu. Alkisah, si dosen yang kebetulan dokter ahli penyakit anak (yang tentu saja berprofesi juga sebagai dokter klinik, seperti kebanyakan dokter lainnya) didatangi oleh sepasang orang tua yang membawa serta anaknya. Sepasang orang tua itu mengeluhkan anaknya yang sudah seminggu tak mau makan. Tentu saja si orang tua ini kelimpungan. Si anak yang baru berusia enam tahun ini, tiba-tiba saja selalu menolak makan. Ditanya apa sebabnya juga tak mau menjawab. Usut-punya usut setelah dokter meminta kedua orang tua si anak keluar ruangan dan berbicara sebentar dengan si anak, barulah si dokter tahu, kalo si anak ini tak mau makan karena protes pada kedua orang taunya. Beberapa minggu lalu dia dipaksa keduia orang tuanya untuk ikut les matematika. Si anak beralasan tak mau lagi ikut les, karena kalau dia ikut les, waktu bermainnya akan berkurang, padahal, dia sebelumnya sudah ikut les bahasa inggris, dan les piano masing-masing dua kali seminggu.

bagi beberapa dokter, terutama dokter anak dan dokter kejiwaan, kejadian semacam ini bukanlah hal yang langka terjadi, apalagi bagi dokter-dokter yang hidup dan buka praktek klinik di kota besar. tingginya angka keluhan tekanan pada anak merupakan hal yang disepakati, berkaitan erat dengan kehidupan kota.

Tentu saja ini adalah fenomena yang memiriskan. usia anak pada dasarnya adalah usia untuk bermain. Perkembangan kecerdasan emosi dan spiritual anak berkemmbang secara pesat pada usia 0-6 tahun, Jika anak terlalu cepat dipaksa belajar hal-hal yang sebenarnya belum waktunya, maka akan menimbulkan efek negatif bagi perkembangan anak.

ada banyak hal yang menyebabkan orang tua bertindak di luar batas hingga memaksa anak untuk mengikuti berbagai les atau pendidikan khusus dan semacamnya. faktor yang paling berpengaruh adalah ketidaktahuan orang tua akan pertumbuhan dan perkembangan anak. kebanyakan orang tua tak tahu bahwa usia kanak-kanak merupakan waktu bagi anak untuk belajar melalui bermain. melalui bermain anak-anak belajar berinteraksi dengan lingkungannya, belajar mengenali hal-hal baru dalam kehidupannya.

Hal lain yang menurut saya cenderung menjadikan kita memaksa anak untuk terlalu cepat menjadi "dewasa' adalah pemikiran materialistis kita. Kita cenderung menganggap bahwa keberhasilan anak cenderung ditentukan oleh secepat apa ia belajar matematika, belajar bahasa inggris, belajar eksakta dan sebagainya. Kita menganggap bahwa kesuksesan akan perlu dipersiapkan sedini mungkin. memmang betul, bahwa anak perlu dipersiapkan, tapi memaksakan anak untuk mencerna da melakukan aktifitas rutin yang membelenggu waktunya untuk bermain justru mengganggu perkembangan anak.

Apa akibat yang terjadi bagi anak yang terlalu cepat menjadi dewasa ini? ya, mereka akan kehilangan kreatifitasnya, anak-anak akan kehilangan kemampuan kreatifitas, kemampuan belajar hal-hal baru, dan kemampuan belajar mengembangkan bakat alamiahnya karena terlalu cepat digerendel dengan cara belajar ala sekolah yang kaku. akibatnya anak akan kehilangan karakter, bahkan sedikit lagi menjadikan anak bermental robot.Bermental robot, karena perkembangan kepribadian anak yang harusnya berkembang di umur aweal terhalang oleh rutinitas yang menjemukan.

Mengurangi waktu bermain anak dengan teman-temannya juga dipercaya menjadi penyebab utama perilaku asosial anak. Kehilangan kemampuan bersosialisasi dan berinteraksi dengan orang lain sejak kecil justru membunuh kecerdasan interpersonal anak. Padahal kemampuan inilah yang dibutuhkan bagi masa depan anak.

ya.. semua orang sepakat bahwa pendidikan memang penting bagi anak. Tetapi memaksa anak-untuk melakukan di luar kemampuanya adalah perilaku yang tidak memanusiakan anak.. Bukankah tujuan kita mendidik anak adalah menjadikannya manusia seutuhnya?
baca tulisan ini lebih jauh

BAsic Training dan relevansinya dalam kehidupan kita

Saya menulis catatan ini, beberapa jam sebelum pembukaan basic training Himpunan Mahasiswa ISlam (HmI)angkatan ke-80 komisariat kedokteran Unhas, yang akan dibuka sebentar lagi di LAN antang. basic training yang ke-80, sebuah rentang waktu yang begitu panjang tentu saja. Dari sejak basic training diselenggarkan berpuluh-puluh tahun lalu di fakultas kedokteran oleh para generasi fakultas kedokteran Unhas pertama, telah begitu panjang waktu yang telah dilewati, begitu banyak perubahan yang terjadi dan begitu banyak alumni yang telah ditetaskan di forum yang sering juga disebut LK (latihan kader) tingkat I ini.

Tentu saja, di usianya yang telah dewasa( saya berusaha menghibur diri dengan tak menyebutnya tua), ada banyak hal yang telah dilewati dan mengalami perubahan dari penyelenggaraan basic training, mulai dari permasalahan teknis, seperti bagaimana cari dana, bagaimana panjang waktunya, hingga permasalahan konseptual mendasar dalam penyelenggaraan pengkaderan. Namun dari sekian banyak perubahan yang terjadi itu, ada satu pertanyaaan penting yang harusnya kita jawab, yaitu benarkah basic training telah mencapai tujuan mulianya sejak pertama diselenggarakan yaitu membentuk karakter insan cita?

Terlepas dari begitu banyak alumni basic training HmI yang kelak di kemudian hari menjadi tokoh-tokoh nasional di berbagai bidang kehidupan, mulai dari pengusaha sampai politikus, mulai dari dokter sampai tentara, kita tetap saja harus bertanya, bagaimana relevansi basic training dengan peningkatan kualitas manusia-manusia alumninya, utamanya dalam menghadapi kompleksitas permasalahan masyarakat hari ini.

Hari ini kita hidup di dunia yang semakin kompleks dan rumit untuk dimengerti.
Kemajuan peradaban manusia, dalam berbagai bidang telah membawa kita pada kondisi dunia yang semakin rumit untuk dijelaskan. Perkemabngan kebudayaan kita telah menghasilkan kecenderungan-kecenderungan yang membuat kita tak mampu lagi benar-benar memahami realitas dunia tempat kita hidup dengan menggunakan teori-teori sosial klasik. Itulah sebanya, belakangan ini berkembanglah teori-teori baru yang berusaha menjelaskan fenomena-fenomena sosial yang semakin sulit dimengerti, semisal teori-teori post strukturalisme, teori-teori postmodernisme dan berbagai pendekatan lain yang berusaha dikembangkan.

Akibat lebih jauh dari semakin kompleks dan rumitnya realitas dunia ini, membuat nilai-nilai norma dan batas-batas kebajikan yang selama ini menjadi tempat kita berpegang dan berpijak sedikit banyaknya perlu disusun kembali. Kadang-kadang, pergeseran nilai dan batas-batas ini menjadikan kita kehilangan arah dan orientasi dalam menjalani kehidupan.

Nah.. harusnya di sinilah peran basic training sebagai tempat kelahiran pemikiran-pemikiran kader HmI. Basic Training tidak hanya menjadi tempat kita merevolusi pemikiran kita dari pemikiran yang primitif ke pemikiran yang lebih baik, tapi juga memberikan pijakan dasar bagi pembangunan paradigma (cara pandang) baru kita dalam melihat realitas dunia, agar di tengah zaman yang multitafsir (bahkan dalam beberapa hal, mengarah ke nihilisme) kita tidak kehilanan arah dan pijakan.

Dalam Basic Training sendiri, sebenarnya yang menjadi intinya adalah nilai dasar perjuangan, atau bisa disingkat NDP (mohon maaf jika analisa ini berasal dari pemikiran saya yang masih dangkal mengenai Basic Training dan nilai dasar pejuangan). Dan NDP sendiri pada hakikatnya mengandung dua hal penting yaitu, dekonstruksi cara berpikir lama dan pembangunan pondasi bagi cara perpikir baru yang lebih rasional. Dekonstruksi cara berpikir lama mengarah pada usaha mengubah cara berpikir kita yang selama ini masih primitif, suka taqlid buta, tidak rasional dan cenderung menjauhi kebenaran. Itu sebabnya di forum basic training, sering ada yang disebut sebagai forum "dialog kebenaran" (sering dipakai di daerah sulawesi) atau "revolusi kesadaran" (sering dipakai di daerah jawa barat dan sumatera) atau istilah-istilah lain yang mengarah pada usaha mengubah cara berpikir kita menjadi lebih rasional, inklusif, dan universal. materi-materi NDP sendiri, yang dibagi ke dalam 8 bab adalah paradigma baru dalam memandang dunia kader HmI. NDP tidak hanya memberikan arahan bagi pencapaian keimanan yang sebenarnya (aspek teologis) namun juga sampai pada pencapaian tanggung jawab kemanusiaan dan tanggung jawab sosial (aspek antropo-sosiologis) manusia.

Pada fungsinya, dalam merekonstruksi dan memberikan arahan bagi cara pandang baru inilah, basic training diharapkan menjadi sebuah langkah awal bagi pembagunan karakter insan cita. Tentu saja, selalu dibutuhkan perbaikan-perbaikan dan adaptasi agar forum-forum baic training tidak hanya menjadi ritual-ritual yang kehilangan makna dan fungsi.

Selamat buat bunga-bunga baru hijau hitam. tumbuhlah. hiduplah seribu tahun lagi, agar wangimu mewarnai jalan-jalan masa depan
baca tulisan ini lebih jauh