mahasiswa makassar Rusuh?


Beberapa waktu belakangan media-media lokal di Sulsel lagi ramai-ramainya memblow up kasus seringnya mahasiswa makassar rusuh. Tidak tanggung-tanggung topik tentang budaya rusuh mahasiswa makassar ini dimuat di halaman depan media-media cetak besar di makassar, seperti fajar dan tribun timur.

Fenomena rusuh, baik rusuh saat aksi demonstrasi maupun rusuh tawuran antar mahasiswa sendiri, sebenarnya bukanlah hal yang langka di daerah ini. Namun belakangan fenomena ini kemudian diblow up di media, terutama setelah beberapa pengusaha asal sulsel memberikan statemen bahwa sarjana-sarjana keluaran unversitas dimakassar sulit untuk mendapatkan tempat di perusahaan-perusahaan nasional, dan penyebab utamanya adalah karena adanya stigma negatif di luar makassar bahwa lulusan-lulusan asal makassar terkenal biang rusuh. belum lagi-katanya- investor-investor dari luar sulit untuk menanamkan investasinya di kota ini akibat kesan sebagai kota yang tidak aman.

Harus diakui memang, stigma negatif bahwa label biang rusuh, anarkis, keras, terus melekat dalam diri mahasiswa asal makassar. dalam beberapa forum-forum nasional yang penulis ikuti, penulis betul-betul merasakan betapa dalam pikiran teman-teman-teman mahasiswa di luaar sana, maahsiswa asal makssar itu berwatak temperamental. pernah suatu kali penulis mengikuti kegiatan pertemuan di semarang, dan pertanyaan yang penulis dapatkan dari mahasiswa asal daerah lain adalah: "di makassar, tawuran itu berapa SKS sihh?"

Fenomena tauran dan rusuh ini memang merupakan hal yang perlu kita prihatinkan dan kaji bersama-sama. Saya percaya bahwa, mahasiswa bukanlah satu-satunya pihak yang harus disalahkan atas fomena rusuh ini.

Karena jika kita mencermati baik-baik fenomena rusuh akhir-akhir ini, sebagian besar kejadian rusuh yang melibatkan mahasiswa di kota ini lahir bukanlah dari reaksi spontanitas mahasiswa. sebagian besar penyebab rusuh mahasiswa akhir-akhir ini, umumnya adalah akibat dipantik hal-hal "sepele" yang sebenarnya bisa dibicarakan baik-baik. fenomena tawuran antar fakultas di Unhas yang biasanya dipicu masalah ketersinggunagn personal, fenomena rusuh mahasiswa asal Luwu versus SATPOL PP, rusuh aparat versus mahasiswa di pintu 1 UNHAS, dan rusuh-rusuh lain membuktikan bahwa fenomena rusuh bukanlah lahir dari kehendak sadar dan rasional mahasiswa.

Beberapa kawan-kawan (terutama pimpinan-pimpinan dan pengurus lembaga mahasiswa- teman-teman penulis sendiri) mengungkapkan bahwa melihat pemicu bentrokan selama ini yang terkesan sepele, ada kecurigaan bahwa bentrokan mahasiswa ini hanyalah settingan orang-orang tertentu yang punya kepentingan dengan pergolakan dan kekacauan yang ditimbulkan. Apalagi kemudian ketika kita mencermati, waktu ke bentrokan biasanya berdekatan dengan momen-momen tertentu yang sifatnya politis. Sebut saja menjelang pemilihan dan pelantikan rektor, pemilihan pembantu rektor, LPJ gubernur, dan sebagainya.

Penyebab lain dari fenomena rusuh ini adalah pola komunikasi yang kita bangun selama ini mengalami kebuntuan. harusnya kekerasan tak perlu terjadi andaikan pihak-pihak yang terkait bisa membangun komunikasi yang dialektis. Namun yang terjadi hari ini,komunikasi yang harusnya menjadi fungsi pemimpin lembaga mahasiswa tidak berjalan maksimal. akibatnya mahasiswa menjadi liar dan mudah terprovokasi. Parahnya lagi birokrat kampus yang harusnya menjadi mediator hanya bisa berkoar-koar di media tanpa pernah terjun langsung ke lapangan dan menyelesaikan akar permasalahan.

Komunikasi yang berjalan tidak maksimal ini, baik antar pemimpin lembaga mahasiswa, mahasiswa dan birokrat kampus, maupun mahasiswa dan pemerintah telah berlangsung bertahun-tahun. Akibatnya, setiap ada friksi sedikit aja, maka akan menyebabkan letupan kekerasan.

harusnya pemerintah sebgai pengayomrajin membuka keran-keran diskusi yang dialektik dan dialogis. Selama ini proses mediasi yang dilakukan cenederung pasif dan menunggu bola, yaitu hanya dilakukan ketika bentrokan sudah terjadi. harusnya birokrat lebihdewasa dan aktif dalam membangun komunikasi, bukannya malah mengeluarkan statemen-statemen yang tidak produktif di media, seperti yang dilakukan selama ini. Penulis yakin dengan cara seperti itu akan terbangun rasa saling percaya dan kesepahaman bersama menenai gerak langkah dan arah pembangunan bangsa yang lebih produktif.
wassalam
0 Responses