Kita tak butuh pemain dan pelatih yang hebat, kita butuh tim yang hebat!

"Real Madrid akan sukses, hanya jika mereka semua percaya bahwa bukanlah pelatih hebat atau kumpulan pemain hebat, tapi tim hebat lah yang akan memenangkan pertandingan"
Jose Mourinho

Bahkan seorang jose Mourinho, seorang pelatih hebat, yang memenangkan gelar liga Champion bersama Porto dan Inter Milan, memenangkan liga Inggris, Liga portugal, dan Liga Inggris, yang terkenal dengan sikap angkuh dan besar mulutnya juga percaya bahwa butuh tim kuat untuk untuk membangun kesuksesan.

berkaca dari persoalan yang dihadapi lembaga hari ini, mungkin benar bahwa hari ini butuh tim kuat. Tim yang kuat, bukan karena para pemainnya yang ber-skill, tapi timbul dari kerja sama yang bagus dan suasana tim yang kondusif. Mungkin kita semua masih ingat bagaimana Porto menjuarai Liga Champion tahun 2003. sebuah tim yang sangat biasa-biasa saja yangtidak punya sejarah kuat di daratan eropa, dan juga dihuni hanya oleh pemain-pemain kelas dua. tapi, kerjasama dan suasana tim yang kondusif kuat itulah yang menyebabkan Porto mampu menjuarai Liga Champion, mengalahkan MU, real madrid dan tim-tim bertabur bintang lain.

Di satu sisi, memang tim bertabur bintang punya potensi lebih dibanding tim-tim yang lain. tapi coba kita lihat, kenyataannya justru tim-tim elit tersebut tak mampu meredam ego kebesaran para pemain bintangnya. yang timbul malah perselisihan antar pemain dan membuat suasana tim menjadi tidak kondusif.

Jadi hari ini kita tak butuh seorang ketua BEM yang hebat. tapi kita butuh tim pengurus yang solid dan suasana berlembaga yang kondusif
baca tulisan ini lebih jauh

Senioritas dan kelangsungan lembaga (2)

Diskusi tentang senioritas memang diskusi yang tak kunjung habis. berbagai diskusi tentang pro kontra senioritas itu hampir kita temui tiap hari. mungkin fakultas kedokteran adalah fakultas yang paling tinggi kadar senioritasnya. Betapa tidak,tidak seperti di fakultas lain, ikatan kesejawatan profesi di fakultas ini sangatlah kental . ikatan profesi ini bahkan berlaku seumur hidup.

terlepas dari berbagai stigma jelek senioritas itu, bagi saya senioritas itu sebenarnya tetap dibutuhkan, utamanya di Fakultas kedokteran. Mengapa?

pertama, bagi saya, di fakultas kedokteran, senioritas adalah sebuah bentuk penghargaan kepada sesama manusia. Ajaran agama mana atau ajaran moral mana yang bisa membantah bahwa menghormati yang jauh lebih duluan ada sebagai bukan sesuatu yang baik. dan bagi seorang mahasiswa kedokteran, penghormatan dan penghargaan kepada orang lain adalah hal yang pertama harus dipelajari, karena selama hidup sebagai dokter kita akan berjumpa dan berinteraksi dengan orang-orang dari berbagai kalngan. dari yang kaya hingga yang paling miskin, dari yang sehat sampai yang penyakitnya tak mampu lagi diselamatkan. Dan jika di kampus saja mereka tak bisa memberikan penghargaan kepada sesamanya mahasiswa atau kepada orang yang lebih tua dari mereka entah itu seniornya, dosennya, pegawai tata usaha atau mungkin cuma cleaning service, bagaimana bisa ia menghormati orang-orang yang mungkin lebih rendah statusnya secara sosial dan ekonomi dari dirinya di luar sana.

Kedua, tak pernah ada orang yang bisa menjadi dokter hanya dengan membaca buku. Secerdas dan sejenius apa pun dia. Bahkan jika pun ia adalah seorang malaikat yang menjelma menjadi manusia. Seorang mahasiswa kedokteran dalam perjalanannya menjadi seorang dokter selalu butuh interaksi dengan orang lain, dengan orang yang lebih duluan belajar ilmu kedokteran dari mereka. Setiap mahasiswa kedokteran pasti pernah diajar secara personal oleh seorang senior baik itu disamping tempat tidur pasien, di ruang diskusi atau bahkan di meja operasi. Ilmu itu diajarkan oleh mereka secara langsung person per person. Artinya, apa yang kita miliki hari ini sebagai dokter adalah sumbangsih dari orang yang pernah menjadi guru kita, senior kita. Oleh karena nya tidak ada alasan untuk tidak memberikan penghargaan dan penghormatan kepada mereka secara wajar dan pantas.

Saya pun juga tidak sepakat dengan senioritas yang memaksakan segala kehendak. Senioritas yang mengindoktrinasi sang yunior seolah mereka tak punya pikiran dan kepala. Membuat mereka seperti hamba dihadapan raja. Pada zaman saya menjadi maba, saya pun lebih banyak tidak sepakat dan membangkang kepada senior. Saya punya pengalaman, dikeluarkan dari MPMB oleh senior karena membangkang, dan sampai sekarang pun saya tetap dicap sebagai junior pembangkang oleh beberapa senior-senior.

Namun apapun itu, kita tetap butuh ruang-ruang pengkaderan dan bimbingan dari orang yang lebih tua (senior) kepada adik-adiknya yang lebih muda (junior). jadi, harus dipahami bahwa senioritas ada sebagai sebuah metode, bukan tujuan. senioritas adalah jalan bagi kita untuk membimbing adik-adik bukannya mengeksploitasi tanpa batas. bagi saya pribadi, tanpa bantuan dari seorang senior dan belajar dari mereka, saya mungkin tak akan bisa menjadi diri saya seperti sekarang. Di FK ini, sejak saya masuk di FK saya sangat termasuk orang yang beruntung karena mendapat kesempatan untuk berkenalan dan berinteraksi dengan orang-orang hebat yang telah mengajari saya bagaimana menjalani hidup sebagai mahasiswa. Saya bersyukur bahwa di waktu kuliah di Fakultas Kedokteran yang singkat ini, saya bisa bisa kenal dengan kanda khalik yang selalu mengajarkan bagaimana menjadi seorang problem solver, kanda irga yang selalu menunjukkan keteladanan seorang pemimpin, kanda tazrif yang selalu mengajarkan keteguhan sikap dan idealisme, dan kanda-kanda lainnya yang tak sempat saya sebutkan nama-namanya.

Harus diakui memang, bahwa senior-senior hari ini sudah semakin jauh dari makna senioritas yang sesungguhnya. Bagi saya, menjadi senior adalah berarti menjadi teladan, dan senioritas berati menunjukkan keteladanan. Mari menjadi senior yang sebenarnya...
baca tulisan ini lebih jauh

Senioritas dan kelangsungan lembaga (1)

Bagi anda yang lumayan sering berkecimpung di dunia kemahasiswaan, atau setidaknya sering bersentuhan dengan dunia kemahasiswaan, maka anda pasti akan akrab dengan kata senioritas. mari kita sedikit bicara mengenai sebuah kata yang sakral ini. kata-kata yang membuat apapun argumen anda akan patah jika dibantah dengan kata "senioritas" ini, atau jika anda seorang yang bicara blak-blakan, maka saya yakin kata ini pasti akan mampu membuat anda diam.

benarkah?

Senioritas adalah sebuah fenomena penghargaan atau penghormatan terhadap orang yang lebih dulu berkecimpung di sebuah lembaga. Fenomena senioritas ini dipraktekkan dalam segala bentuk interaksi antar komponen organisasi. Dalam tatanan kelembagaan formal, ada senioritas. Dalam kegiatan-kegiatan lembaga juga ada senioritas. Untuk beli gorengan juga ada senioritas, untuk pakai toilet juga ada senioritas. Ya, kan?

Dalam hampir semua lembaga kemahasiswaan, senioritas adalah hal yang mutlak ada. Tidak boleh tidak. tak dapat disangkal lagi, bahwa dalam beberapa kasus, fenomena senioritas ini punya efek positif bagi kelangsungan dan regenerasi sebuah lembaga. Mengapa? Karena dalam bilik-bilik senioritas, penanaman nilai-nilai dan tujuan organisasi, lebih mudah dilakukan. Doktrin-doktrin organisasi jauh lebih mudah ditanamkan kepada (utamanya) anggota baru jika kita berada dalam suasana "senioritas".

Masalahnya, adalah ketika senioritas menjadi liar dan tidak terkendali, yaitu ketika senioritas ditempatkan tidak lagi pada tempatnya. Seyogyanya, senioritas ada ketika kita berada dalam ranah proses transformasi nilai-nilai organisasi antara yang lebih tua kepada yang lebih muda. Sialnya, seringkali senioritas dijadikan legitimasi untuk mengeksploitasi pihak-pihak subordinat kita. Lebih sialnya lagi, senioritas yang menyimpang ini dibenar-benarkan (lebih tepatnya disalahgunakan) oleh orang-orang pragmatis untuk meraih tujuan-tujuan yang tak lagi ada hubungannya dengan organisasi.

Senioritas yang tidak terkendali ini lambat laun akan melahirkan sebuah bentuk penjajahan yang (celakanya) terstrukturkan. Apa gunanya kita (mahasiswa senior) berdiri di jalan berbicara menentang penjajahan jika di kampus kita, jika setiap hari di depan mata kita, penjajahan dan feodalisme masih ada di kampus. Apa gunanya kita berbicara di depan mahasiswa baru tentang independensi dan intelektualitas, jika kita masih selalu saja membunuh independensi dan intelektualitas itu dengan eksploitasi dan feodalisme?
baca tulisan ini lebih jauh

Merelakan Kepergian

setiap daun-udaun yang tumbuh adalah
kehilangan bagi rimbun musim sebelumnya
setiap nafas-nafas yang pergi
adalah kehadiran bagi jiwa-jiwa yang lain

Jika kita tahu bahwa kepergian itu niscaya
maka mengapa kita tak mampu pergi dengan bahagia?

Bukankah kita selalu percaya
bahwa setiap jalan penciptaan-Nya
lahir dari kematian-kematian yang lain
baca tulisan ini lebih jauh

mahasiswa makassar Rusuh?


Beberapa waktu belakangan media-media lokal di Sulsel lagi ramai-ramainya memblow up kasus seringnya mahasiswa makassar rusuh. Tidak tanggung-tanggung topik tentang budaya rusuh mahasiswa makassar ini dimuat di halaman depan media-media cetak besar di makassar, seperti fajar dan tribun timur.

Fenomena rusuh, baik rusuh saat aksi demonstrasi maupun rusuh tawuran antar mahasiswa sendiri, sebenarnya bukanlah hal yang langka di daerah ini. Namun belakangan fenomena ini kemudian diblow up di media, terutama setelah beberapa pengusaha asal sulsel memberikan statemen bahwa sarjana-sarjana keluaran unversitas dimakassar sulit untuk mendapatkan tempat di perusahaan-perusahaan nasional, dan penyebab utamanya adalah karena adanya stigma negatif di luar makassar bahwa lulusan-lulusan asal makassar terkenal biang rusuh. belum lagi-katanya- investor-investor dari luar sulit untuk menanamkan investasinya di kota ini akibat kesan sebagai kota yang tidak aman.

Harus diakui memang, stigma negatif bahwa label biang rusuh, anarkis, keras, terus melekat dalam diri mahasiswa asal makassar. dalam beberapa forum-forum nasional yang penulis ikuti, penulis betul-betul merasakan betapa dalam pikiran teman-teman-teman mahasiswa di luaar sana, maahsiswa asal makssar itu berwatak temperamental. pernah suatu kali penulis mengikuti kegiatan pertemuan di semarang, dan pertanyaan yang penulis dapatkan dari mahasiswa asal daerah lain adalah: "di makassar, tawuran itu berapa SKS sihh?"

Fenomena tauran dan rusuh ini memang merupakan hal yang perlu kita prihatinkan dan kaji bersama-sama. Saya percaya bahwa, mahasiswa bukanlah satu-satunya pihak yang harus disalahkan atas fomena rusuh ini.

Karena jika kita mencermati baik-baik fenomena rusuh akhir-akhir ini, sebagian besar kejadian rusuh yang melibatkan mahasiswa di kota ini lahir bukanlah dari reaksi spontanitas mahasiswa. sebagian besar penyebab rusuh mahasiswa akhir-akhir ini, umumnya adalah akibat dipantik hal-hal "sepele" yang sebenarnya bisa dibicarakan baik-baik. fenomena tawuran antar fakultas di Unhas yang biasanya dipicu masalah ketersinggunagn personal, fenomena rusuh mahasiswa asal Luwu versus SATPOL PP, rusuh aparat versus mahasiswa di pintu 1 UNHAS, dan rusuh-rusuh lain membuktikan bahwa fenomena rusuh bukanlah lahir dari kehendak sadar dan rasional mahasiswa.

Beberapa kawan-kawan (terutama pimpinan-pimpinan dan pengurus lembaga mahasiswa- teman-teman penulis sendiri) mengungkapkan bahwa melihat pemicu bentrokan selama ini yang terkesan sepele, ada kecurigaan bahwa bentrokan mahasiswa ini hanyalah settingan orang-orang tertentu yang punya kepentingan dengan pergolakan dan kekacauan yang ditimbulkan. Apalagi kemudian ketika kita mencermati, waktu ke bentrokan biasanya berdekatan dengan momen-momen tertentu yang sifatnya politis. Sebut saja menjelang pemilihan dan pelantikan rektor, pemilihan pembantu rektor, LPJ gubernur, dan sebagainya.

Penyebab lain dari fenomena rusuh ini adalah pola komunikasi yang kita bangun selama ini mengalami kebuntuan. harusnya kekerasan tak perlu terjadi andaikan pihak-pihak yang terkait bisa membangun komunikasi yang dialektis. Namun yang terjadi hari ini,komunikasi yang harusnya menjadi fungsi pemimpin lembaga mahasiswa tidak berjalan maksimal. akibatnya mahasiswa menjadi liar dan mudah terprovokasi. Parahnya lagi birokrat kampus yang harusnya menjadi mediator hanya bisa berkoar-koar di media tanpa pernah terjun langsung ke lapangan dan menyelesaikan akar permasalahan.

Komunikasi yang berjalan tidak maksimal ini, baik antar pemimpin lembaga mahasiswa, mahasiswa dan birokrat kampus, maupun mahasiswa dan pemerintah telah berlangsung bertahun-tahun. Akibatnya, setiap ada friksi sedikit aja, maka akan menyebabkan letupan kekerasan.

harusnya pemerintah sebgai pengayomrajin membuka keran-keran diskusi yang dialektik dan dialogis. Selama ini proses mediasi yang dilakukan cenederung pasif dan menunggu bola, yaitu hanya dilakukan ketika bentrokan sudah terjadi. harusnya birokrat lebihdewasa dan aktif dalam membangun komunikasi, bukannya malah mengeluarkan statemen-statemen yang tidak produktif di media, seperti yang dilakukan selama ini. Penulis yakin dengan cara seperti itu akan terbangun rasa saling percaya dan kesepahaman bersama menenai gerak langkah dan arah pembangunan bangsa yang lebih produktif.
wassalam
baca tulisan ini lebih jauh

manusia modern dan keterasingan dengan masa lalu


Saya sedang menonton serial katun avatar ketika menulis tulisan ini. Apakah anda pernah menonton seril kartun avatar? Kisah tentang bocah kecil bernama aang bersama dua temannya yang bernama sokka dan katara yang berusaha menyelamatkan dunia. Saya sedang menyaksikan episode ketika aang dan teman-temannya mendatangi reruntuhan kuil udara, tempat suci yang menjadi tempatnya dibesarkan.

Singkat kisah, aang bersama teman-temannya sangat terkejut ketika mendapatkan kuil udara yang harusnya menjadi tempat suci yang dikeramatkan telah diubah menjadi tempat modern yang serba canggih. Ratusan tahun setelah para pengendali udara dibantai di tempat itu oleh Negara api, sekelompok pengembara menemukan tempat itu dan menjadikannya laboratorium bagi penemuan-penemuan penting. Aang marah melihat itu semua. Bagaimana tidak, tempat suci bagi para pengendali udara yang harusnya menjadi tempat bagi para pengendali udara telah menjadi tempat asing bagi mereka.

Para pengembara yang menemukan tempat itu dan mengubahnya menjadi tempat yang lebih modern, juga tentunya punya alasan sendiri. Membiarkan tempat itu menjadi tempat kosong, bukankah jauh lebih tidak berguna dibanding dengan membuatnya tempat bagi penemuan-penemuan yang bermanfaat bagi umat manusia.

Kehidupan manusia modern kadangkala memang membuat kita terasing dari dunia kita sendiri. Di tengah perubahan cara hidup (mulai dari cara kita bekerja, cara kita bersosialisasi, cara kita berinteraksi, cara kita berbicara, sampai cara kita berpakaian), Kita kadang-kadang tidak lagi mampu mengenali jati diri dan lingkungan kita sendiri. Kita menemukan kehidupan kita begitu asing dan jauh. Coba bayangkan jika anda adalah manusia yang berasal dari tahun 80-an. anggaplah anda tertidur selama 20 tahun, dan ketika anda dibangunkan, anda melihat sekeliling anda telah begitu berubah. Anda kebingungan. Anda merasa seakan-akan berada diplanet yang lain. kehidupan yang benar-benar lain. Itulah yang kadang kala terjadi bagi manusia modern yang sedang berada dalam perjalanan menemukan kehidupannya.

Manusia modern yang kehilangan jati diri itu lalu kebingungan dan lalu berusaha mencari jalan bagi keterhubungan dirinya dengan masa lalu. Parahnya, untuk membangun keterhubungan itu kita membangun kuil-kuil peringatan, membangun monumen, membuat kuil. Melalui simbol-simbol semacam tugu itu, kita merasa menemukan keterhubungan dengan jati diri kita di masa lalu.

Di mana-mana kita menemukan tugu-tugu peringatan, setiap tahun digelar pesta peringatan. mulai dari simbol-simbol agama, simbol-simbol kebangsaan, simbol-simbol kesukuan, dan simbol-simbol yang lain. peringatan hari kemerdekaan, peringatan hari raya agama, upacara suku, dan seterusnya menegaskan betapa kita butuh akan simbol-simbl itu. Bahkan belakangan ini, kita lalu membangun simbol yang sifatnya pribadi untuk menegaskan kedudukan kita. Hari kelahiran, hari jadian, hari tunangan dst.

Tapi benarkah symbol-simbol peringatan itu telah menemukan makna yang sebenarnya. Selama ini kita menganggap Kuil-kuil itu sebagai bentuk penghormatan kita kepada para pendahulu. Dengan penuh hikmad kita memperingati peringatan hari-hari besar setiap tahunnya, namun tak sedikit pun makna di balik peringatan itu kita selami.

Setiap peringatan 17-an misalnya, benarkah makna perjuangan dan perlawanan melawan ketidakadilan itu kita hadirkan ke dalam diri kita? Atau jangan-jagan setiap peringatan-peringatan yang kita gelar hanyalah bagian dari euphoria massal masyarakat modern yang memang berjiwa imitatif. Dalam konteks keagamaan, benarkah peringatan tahun baru hijrah, kita maknai sebagai bentuk bagian dari pejuangan membangun kebenaran? Ataukah kita hanya ikut-ikutan?

Harusnya makna masa lalu yang menjadi spirit bagi lahirnya sejarahlah yang kita hadirkan ke dalam kotak baru bernama dunia modern, bukannya dengan menghadirkan barang-barang antik, yang lalu kita anggap sebagai symbol penghormatan terhadap sejarah. Misalnya, dalam konteks dunia modern, harusnya makna proklamasi dimaknai sebgai keberanian mendobrak hegemoni dan bayang-bayang Negara maju.

Jika kita tetap terpatron pada tradisi-tradisi lama namun kehilangan makna peringatan yang sebenarnya, maka kita akan dilindas oleh arus modernisasi yang tak kenal ampun.

Seperti kuil udara yang dibangun oleh para pengendali udara sebagai benteng perlawanan terhadap Negara api, para pengembara yang menemukannya memang mengubah tampilan fisiknya ke bentuk yang jauh lebih modern, namun perubahan tersebut didasari oleh semangat perlawanan terhadap penindas. Bisa dibayangkan, jika para pengembara tetap mengadalkan senjata-senjata klasik melawan Negara api yang teknologinya jauh lebih maju. tentu saja mereka akan kalah.

Kembali ke cerita avatar; Di akhir cerita, aang menggambarkan modernisasi seperti keong yang menemukan cangkang baru. Ketika cangkang yang lama hancur, maka keong mencari cangkang lain yang betuk fisiknya mungkin berbeda, tapi bukankah isinya tetap sama?
baca tulisan ini lebih jauh

Peran Lembaga Mahasiswa dalam Membangun Indonesia Emas

Realita Kehidupan bangsa Indonesia hari ini

Sejak zaman perjuangan kemeerdekaan hingga kini, bangsa kita terus berada dalam ketertinggalan dan keterpurukan. Dan sampai hari ini pun kita masih tak bisa lepas dari keterpurukan dan ketertinggalan tersebut. Berbagai ketertinggalan tersebut meliputi hamper semua sendi-sendi kehidupan bangsa ini.

di bidang ekonomi tingkat pengangguran masyarakat kita masih tinggi. Kemiskinan cenderung naik. Tingkat investasi masih belum optimal. Pertumbuhan ekonomi cenderung lambat. Daya saing kita cenderung melemah, sementara Negara-negara di kawasan (China, India, serta Negara-negara asia lainnya) semakin menunjukkan performance yang cemerlang dalam laju pertumbuhan ekonomi. di bidang politik sejak era reformasi tahun 1998, kita memang berhasil mencapai kebebasan berpolitik yang lebih dari era sebelumnya. Keberhasilan membangun demokrasi ini memang patut diacungi jempol, namun, jika kita melihat realita yang terjadi di tangkatan grass root yang terjadi justru adalah praktik politik yang tidak sehat, yang brujung pada ketidak percayaan public pada perangkat-perangkat politik, desentralisasi yang kebablasan (bahkan sampai mengarah pada disintegrasi)

di bidang hukum, upaya reformasi terus dilakukan termasuk dalam pemberantasan korupsi, tetapi masih banyak catatan tersisa, bahwa praktik-praktik dunia hukum kita masih belum mengarah pada penguatan kepastian hukum. Bahkan ada kecenderungan masyarakat kita semakin antipasti terhadap kinerja perangkat-perangkat hokum negeri ini (masih ingat kasus cicak vs buaya, susno vs polri, serta kasus lainnya). di bidang sosial-kemasyarakatan, kondisi kesehatan yang memprihatinkan, kurangnya keseriusan pemerintah dalam membangun pendidikan serta semakin lunturnya kebudayaan local yang menjadi watak dan local geniusity bangsa ini menjadi sebuah tugas berat untuk diselesaikan.

Masalah-masalah kita sebagai bangsa memang kompleks serta saling terkait satu sama lain. Kita tak mungkin menyelesaikan permasalahan pendidikan tanpa melakukan perubahan mendasar pda kebijakan ekonomi. Demikian pula tidak mungkin berbicara tentang pembanguna kesehatan tanpa berbicara budaya, ekonomi dan pendidikan.

Tantangan masa depan Indonesia

Beban berat bangsa ini akan semakin berat dengan semakin beratnya tantangan masa depan. Di tengah ketertinggalan mutlak bangsa ini di semua sendi kehidupan, kita tak mampu menghentikan berbagai perubahan-perubahan global yang akan berimplikasi besar dalam kehidupan masa depan (coba bayangkan kita sedang balapan. Kita menggunakan motor dengan mesin 90 cc, yang rusak di sana sini, sementara bangsa lain menggunakan motor dengan mesin 300 cc dan peralatan yang serba baru, sementara jalan di depan semakin berkelok, semakin menanjak dan sulit dilewati)

Indonesia masa depan akan dihadapkan pada arus informasi yang semakin cepat, perkembangan sains dan teknologi yang semakin cepat dan luas, pola kehidupan dunia yang semakin mengglobal dan terbuka, serta brbagai tantangan lainnya.

Di mana peran mahasiswa?

Berbagai tantangan itu tentu saja menjadikan kita (mahasiswa, sebagai generasi muda bangsa ini) patut untuk cemas dan gelisah. Mengapa? Pertama, karena berbicara masa depan adalah berbicara tentang masa depan kita dan anak cucu kita, dan tentu saja kita tidak ingin di masa depan kita mendapati diri kita atau anak cucu kita hidup sebagai budak bangsa lain. Kedua, karena sejauh ini, kita masih juga tenang-tenang saja seakan tidak terjadi apa-apa.

Membangun bangsa Indonesia masa depan, maka kita akan berbicara tentang membangun kualitas bangsa ini agar sanggup menghadapi tantangan masa depan. Menurut prof. Gunawan Mintohardjo dalam bukunya Membangun Indonesia Emas, untuk membangun Indonesia masa depan maka kita membutuhkan generasi yang menguasai 3 hal yaitu concepts, competencies, dan conections
Karena kompetensi (soft skill) mahasiswa kita telah anggap didapatkan oleh mahasiswa di bangku kuliah (atau sejenisnya) maka tanggung jawab dan fungsi lembaga kemahasiswaan hari ini adalah memberikan ruang bagi mahasiswa untuk membangun konsep dan koneksi. Di situlah lembaga mahasiswa berperan, dalam hal ini, utamanya melalui berbagai kegiatan-kegiatan kelembagaan.

Membangun konsep mahasiswa maka kita akan berbicara tentang penanaman idealisme kemahasiswaan, tanggung jawab sebagai mahasiswa dan generasi penerus bangsa, pemahaman akan kompleksitas permasalahan bangsa, pembangunan karakter mahasiswa, serta pembekalan kemampuan manajerial dan kepemimpinan.

Pembangunan konsep dan koneksi mahasiswa dalam dunia kemahasiswaan masa kini yang semakin bergerak ke arah pola hidup hedonis dan konsumtif, bukanlah sebuah tugas yang mudah. Tapi tentu saja di atas segalanya, adalah sebuah kebanggan bagi lembaga mahasiswa hari ini untuk menjadi Loyang (atau tungku) bagi pencapaian generasi Indonesia Emas
baca tulisan ini lebih jauh

Tantangan dokter masa depan, tantangan dunia lembaga mahasiswa hari ini, dan perlunya pengawalan kader

Mahasiswa kedokteran masa kini hidup di abad 21, di mana dihadapkan pada tantangan dunia kesehatan secara umum dan dunia kedokteran secara khusus yang makin berat dan makin sulit ditebak. Untuk menghadapi tantangan dunia kesehatan yang semakin berat tersebut, Mahasiswa kedokteran, baik sebagai individu maupun sebagai komunitas kedokteran membutuhkan persiapan dan bekal yang matang.

Tantangan yang paling besar yang menjadi tugas berat bagi dokter masa depan adalah permasalahan kesehatan yang semakin mengglobal dan semakin kompleks serta tuntutan akan tanggung jawab profesi seorang dokter yang semakin besar.


Harus diakui bahwa semakin kompleks dan semakin terintegrasinya berbagai bidang kehidupan masyarakat kita hari ini membuat masalah kesehatan (yang merupakan tanhggung jawab bagi seorang dokter) tak lagi bisa dipisahkan dengan bidang kehidupan lain. Permasalahan kesehatan tak lagi bisa diselesaikan dengan mengandalkan pendekatan biomedik, seperti yang kita pelajari di bangku kuliah namun membutuhkan pemahaman lintas disiplin ilmu, kajian yang kompleks akan permasalahan sosial budaya, ekonomi, pendidikan dan sebagainya.

Di masa yang akan datang, kebutuhan masyarakat akan tenaga kesehatan akan semakin besar (dengan mempertimbangkan berbagai faktor, seperti kesejahteraan masyarakat yang makin meningkat, tingkat pendidikan masyarkat semakin tinggi, pola hidup masyarakat yang semakin konsumtif, yang berakibat perhatian individu pada masalah kesehatannya akan semakin besar). Hal ini akan berimplikasi pada peran dokter dalam kehidupan sosial akan menjadi semakin vital. Posisi dokter dalam kehidupan masyarakat semakin penting dan ini menegaskan akan kebutuhan kita akan dokter-dokter yang berkarakter pemimpin, cerdas, dan berwawasan luas.

Berbagai tantangan di atas membawa kita pada kesimpulan akan butuhnya kita akan kader yang mau belajar/mengerti wacana-wacana dunia kesehatan, lintas disiplin ilmu, serta berkarakter pembelajar, peka dan kritis terhadap peramasalahan-permasalahan sosial kemasyaraktan.

Di lain sisi, dinamika kemahasiswaan kita, yang harusnya menjadi tempat kita membina dan mempersiapkan dokter-dokter yang mampu menghadapi tantngan masa depan juga menghadapi tantangan yang tak kalah peliknya yang tentu saja membutuhkan kreativitas agara mahasiswa kita bisa beradaptasi dengan pola dunia kemahasiswaan hari ini. Cepatnya regenerasi dalam dunia lembaga kemahasiswaan, masih rendahnya keteladanan, serta system kelembagaan yang belum terarah dan sinergis satu sama lain menjadi penyebab utama belum maksimalnya fungsi perangkat lembaga mahasiswa sebagai tempat belajar dan mempersiapakan diri mahasiswa dalam menghadapi tantngan masa depan.

Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka butuh sebuah metode pengawalan yang sistematis serta terencana dan berkesinambungan agar transfer pengetahuan, wacana, idelisme, serta budaya kemahasiswaan mampu berjalan secara maksimal. Selain itu butuh pula sebuah metode pendampingan yang kreatif dan fleksibel agar mampu menjadi sebuah wadah belajar yang menarik dan efektif.
baca tulisan ini lebih jauh

PERGUB no 28 th.2010 dan Disorientasi Arah Pembangunan Hari Ini

Saya ingin menulis tulisan ini, dengan berangkat dari kenyataan bahwa bangsa kita hari ini berada dalam sebuah kondisi yang mandeg. Di mana-mana pembangunan bangsa ini mengalami stganasi. Dalam bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, budaya, politik, bangsa ini berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Sangat rumit memang untuk mengurai benang kusut pemasalahan bangsa hari ini. Karena masalah bangsa kita hari ini telah menjadi sebuah jaring laba-laba sistemik yang saling terkait satu sama lain. Permasalahan kesehatan akan terkait dengan pendidikan, permasalahan ekonomi, permasalahan, politik, dan sebagainya. Oleh karena itu, untuk memutus mata rantai sistemik krisis bangsa ini, kita perlu sebuah arahan dan prioritas pembangunan yang realistis dan terukur. dan bagi penulis, membangun kualitas sumber daya manusia rakyat Indonesia hari ini adalah satu-satunya jalan bagi angsa ini untuk keluar dari keterbelakangn dan ketertinggalan.

Jika kita berbicara tentang pembagunan kualitas sumber daya manusia bangsa ini, maka kita akan berbicara tentang kualitas pendidikan dan kesehatan bangsa kita. Karena itu, di tengah segala kekurangan dan kelemahan Negara kita hari ini (lemah dalam kekuatan modal finansial, kualitas SDM, pernagkat hokum suprastruktur, dan sebagainya), pemerintah wajiblah untuk menjamin akselerasi pembangunan pendidikan dan kesehatan yang berkualitas. Hal ini sebenarnya telah digariskan dalam konstitusi di mana UUD 1945 sendiri menegaskan bahwa Pendidikan dan kesehatan dijamin oleh Negara dalam hal ini pemerintah sebagai pelaksana tugas Negara.

Pergub no.28 , ke mana arahnya?

Kebijakan Pemerintah provinsi Sulawesi Selatan baru-baru ini yang mengeluarkan pergub (peraturan gubernur) no.28 tahun 2010 yang salah satu poinnya (poin 23) mewajibkan koass (mahasiswa kedokteran yang sementara menjalani praktik magang di Rumah sakit), residen (dokter yang sedang mengambil program pendidikan dokter spesialis) dan perawat/ bidan yang sedang praktik magang unuk membayar retribusi tiap menjalani stase di rumah sakit milik pemerintah provinsi , tentu saja merupakan sebuah hal yang aneh dan tak berdasar.

Merupakan hal yang aneh, karena tanpa alasan yang jelas pemerintah provinsi Sulawesi Selatan mengeluarkan pergub ini. Kebijakan ini, terlepas dari dalih pemprov bahwa kebijakan ini bertujuan untuk merapikan administrasi dan akuntabilitas keuangan di rumah sakit, menimbulkan pertanyaan besar bagi kita semua , bahwa bukankah pemerintah berkewajiban untuk mneyelenggarakan pendidikan yng berkualitas bagi segnap rakyatnya, bukannya malah “memeras”.

Terlebih lagi bayaran rtribusi yang diminta bukanlah jumlah yang kecil untuk ukuran kantong mahasiswa Makassar, Koass diwajibkan membayar Rp. 60.000 per minggu, residen Rp.75.000 per minggu, dan mahasiswa keperawatan/kebidanan Rp.50.000 per minggu. Sebuah angka yang tidak sedikit tentu saja. Kebijakan ini juga jelas-jelas tak berdasar karena melanggar aturan yang lebih tinggi, yaitu UU penyelenggaraan Rumah sakit yang jelas-jelas menggariskan bahwa fungsi Rumah sakit selain sebagai penyelenggara layanan kesehatan juga berfungsi menyelenggarakan pendidikan kesehatan.

Sebenarnya kerjasama antara institusi penyelenggara pendidikan kedokteran (di Makassar khususnya, dalam hal ini UNHAS dan UMI) dengan rumah sakit milik pemprov telah berlangsung puluhan tahun. Dalam rentang waktu yang cukup panjang itu, ribuan tenaga kesehatan telah dihasilkan, yang tentunya ujung-ujunganya sebagian besar dari lulusan-lulusan itu akan berkontribusi besar (baca:menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan) di Sulawesi selatan. Alangkah sebuah pikiran yang picik jika kerjasama bertahun-tahun itu yang telah menjadi tulang punggung bagi pelayanan kesehatan hingga sekarang dinodai dengan retribusi yang targetnya tak lbih dari mengejar PAD belaka.

Kisruh mengenai retribusi ini semakin diperparah oleh statement gubernur Sulsel di sebuah media local, bahwa wajar saja residen, koass dan perawat dimintai retribusi karena mereka mneggunakan rumah sakit untuk memperoleh pendidikan, makan dan tidur di Rumah sakit. Sebuah pernyataan yang sangat menyakitkan, terlebih lagi diucapkan oleh seorng kepala daerah.

Saya menganggap bahwa pernyataan ini keluar dari ketidak tahuan ggubernur kita akan realita di Rumah Sakit-Rumah Sakit milik pemprov (bebrapa teman dengan nada bercanda menyebut, mungkin karena gubernur kita terlalu sering berobat ke luar negeri hingga tak tahu realita yang terjadi di lapangan). Harus dipahami bahwa di rumah Sakit-Rumah Sakit milik pemprov di mkassar (RS Labuang Baji, RS Haji, RS ertiwi, RS Fatimah) ujung tombak pelayanan di Rumah sakit ada di tangan koass, residen dan perawat magang. Mereka memang menjalani pendidikan di sana, tapi harus diakui mereka juga berfungsi sebagai tenaga teknis pelayanan di rumah sakit (bahkan fungsi pelayanan seorang residen dan koass terasa lebih besar porsinya dibanding porsi pendidikannya). Sementara dokter-dokter dan perawat yang dimiliki oleh pemprov, tak lebih dari 30% dari total tenaga kesehatan di Rumah Sakit.

Apatah lagi, residen dan koass, serta perawat magang di sana bekerja siang malam untuk melayani pasien di sana, bahkan harus menginap di Rumah Sakit untuk tugas jaga tanpa pernah digaji sepeser pun. Di daerah-daaerah lain, koass dan residen bahkan diberikan tip oleh Rumah Sakit tiap mereka berdinas di Rumah sakit tersebut, karena menganggap residen dan koass telah memberikan jasa pelayanan di Rumah Sakit.

Harusnya, pemerintah sadar bahwa di atas segalanya, menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas dan terjangkau merupakan harga mati bagi pembangunan manusia Indonesia, Terlebih lagi pendidikan kesehatan. Karena tenaga-tenaga kesehatan terdidik inilah yang nantinya menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan di daerah. Kita tak mampu membayangkan jika kelak biaya pendidikan kesehatan makin mahal, maka lulusan-lulusan yang akan dihasilkan merupakan teaga kesehatan yang profit oriented (setela lulus dari pendidikan, orang akan cenderung berpikiran megembalikan modal yang telah dibayar selama pendidikan).

Ke mana arah kebijakan pemerintah hari ini?

Kisruh retribusi ini harusnya menjadi cerminan bagi kita semua, betapa pembangunan di sulsel hari ini berjalan tanpa arah. Di tengah ruwetnya masalah pendidikan dan kesehatan di Sulsel (ingat, angka buta aksara dan tingkat penderita penyakit infeksi, Sulsel masih “berhasil” masuk lima besar). Adalah sebuah kesalahan besra jika kita kemudian mengorbankan pendidikan dan kesehatan di SulSel hanya untuk mnegejar PAD belaka.

Lebih miris lagi kemudian, ketika kita coba melihat arah pembangunan pemerintah provinsi selama 3 tahun belakangan yang cenderung mengutamakan program dan bangunan-bangunan simbolis yang milyaran bahkan trilyunan rupiah sementara pembangunan pendidikan dan kesehatan yang menjadi pilar utama pembangunan bangsa ini masih compang camping di sana sini. Pembangunan CPI (central point of Indonesia), reklamasi tanjung Bunga, dan rogram-program lain memang terkesan megah dan lux jika dilihat dari luar, akan tetapi bukankah pembangunan pendidikan dan kesehatan kita jauh lebih urgen untuk diselesaikan?
baca tulisan ini lebih jauh

Back to Basic


Bagaimana HMI saat ini?, pertanyaan ini sudah menjadi trademark bagi organisasi mahasiswa Islam terbesar ini untuk peran selanjutnya. Siapa yang tidak kenal dengan HMI yang mempunyai kiprah besar terhadap tegaknya bangsa ini. Tapi juga ada tuduhan, bahwa HMI pun turut andil dalam kebobrokan para politisi yang notabene alumni HMI.

Tidak ada kata lain yang bisa dijadikan patokan bagi HMI, kecuali back to basic. Yaitu kembali pada Insan Akademis, Pencipta, Pengabdi yang 'bernafaskan Islam' dan bertanggung jawab atas terselenggaranya negara adil makmur yang diridhai Allah SWT. Hanya ini yang harus dijadikan tolok ukur eksistensi HMI. Lain dari itu, tidak ada.


Kalau kata Fachri Ali, dia menyebutkan "Dulu HMI adalah organisasi intelektual yang mencetak kader-kader technocrat dan merupakan idola tiap anak muda terpelajar, serta curiga dengan politisi yang cenderung manipulatif dan bohong melalui kemampuan berpidato. Sedangkan hari ini HMI adalah pencetak para kader politisi yang dulu dicurigai oleh HMI itu sendiri. Saya berkeyakinan 10 tahun kedepan rakyat kian bosan dengan politik, bosan dimanipulasi dan bosan dibohongi. Oleh karenanya 60 tahun HMI kini, jika dia ingin tetap Berjaya, maka mencetak kader-kader intelektual (technocrat) adalah sebuah keharusan, karena bangsa ini akan bersiap melakukan substitusi kepemimpinan politik dengan kepemimpinan technocrat. Membaca dan menulislah, karena itu yang akan membuat anda dewasa secara intelektual." (sumber : http://pbhmi.com). Nah... sekarang, apa yang dimiliki dan yang bisa ditonjolkan oleh si-'Hitam Hijau' ini?.

Mungkin, ini mungkin saja, saat ini telah terjadi degradasi kaderisasi di tubuh HMI sendiri. Entah apa sebabnya. Bisa jadi juga tanggungjawab para rakanda alumninya yang terus menerus meng'kooptasi' adik-adiknya di HMI. Demi kepentingan para rakandanya, adik-adiknya diobok-obok. Dan yang paling penting, bagi HMI-nya sendiri harus mulai sadar bahwa HMI bukan milik alumni, tapi milik anggota. Sehingga maju-mundurnya organisasi ini tergantung bagaimana sikap anggotanya. Jika anggotanya mau di'mainkan' oleh para rakandanya, maka sudah jelas bahwa HMI sedang menggali liang lahatnya sendiri.

HMI adalah HMI, bukan HMI adalah juga Alumni HMI. Paradigma ini jelas berbeda. Karena akan bermuara pada hilangnya sikap independen. Tanpa sikap independen ini, maka tidak ada HMI. Dan menjadi wajar jika kemudian ada pertanyaan 'Bagaimana HMI saat ini?'. Bukan berarti anti kepada Alumni HMI. Akan tetapi bersikap proporsional. Bahwa Alumni HMI merupakan wadah silturrahmi dan komunikasi antar komunitas keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam. Tidak lebih. Apalagi kemudian ada transaksi, deal-deal politis yang bakal berdampak pada proses perbaikan institusi.

HMI akan terbawa-bawa dalam berbagai proses politik yang terjadi. Akan sangat membanggakan jika ternyata proses politik itu membawa dampak positif pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Akan tetapi sebaliknya, institusi HMI akan terbawa buruk dan rusak karena tingkah laku para alumninya yang tidak patut dan tidak layak, apalagi bagi para alumninya yang terlibat unsur-unsur KKN. Jelas-jelas ini merusak dan menghancurkan. Bukan saja HMI tapi juga bangsa dan negara secara keseluruhan.

Oleh karenanya, dengan ucapan bismillah...HMI harus back to basic. Yakin Usaha Sampai.
baca tulisan ini lebih jauh

rekonstruksi ideologi dalam NDP Cak Nur

Tulisan dari mas Andito. patut untuk dibaca dan didiskusikan

HANYA dengan Al-Quran dan terjemahnya kita sudah dapat memakai dan ‘memelintir’ ayat-ayat suci dengan bebasnya. Masalah kemampuan bahasa arab, asbab al-nuzul dan tetek bengek lainnya ‘tidak dipentingkan’. Memang lazimnya demikian. Toh, semuanya akan berpusing-pusing pada tafsir. Itu bahasa sadisnya saat kita berhadapan dengan majlis pengajian pada umumnya.

Praktik tadi sungguh berbeda saat kita berhadapan dengan naskah Nilai-nilai Dasar Perjuangan/Nilai Identitas Kader (selanjutnya ditulis NDP), sebuah rumusan Islam yang khas Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang didirikan pada 5 Februari 1947. Naskah NDP itu sendiri baru disahkan pada Kongres HMI IX di Malang (Mei 1969).

Untuk memahami, apalagi mengajarkan, NDP kita harus menjalani praktik-praktik ritual tertentu yang tidak sembarang orang dapat melakukannya, mulai dari Basic Training (Latihan Kader I/LK I), pendalaman NDP Pasca LK, Training Up Grading NDP, Senior Course sampai Training Instruktur NDP. Kita juga tidak boleh meninggalkan wirid intensif dengan membaca karya-karya Nurcholish Madjid (Cak Nur).

Pembalseman Cak Nur

Mengapa hal ini dapat terjadi? Banyak alasan dapat dikemukakan. Pertama, Pembalseman Cak Nur secara sistematis. Pengaguman terhadap Cak Nur membuat semua orang merasa rendah diri ketika berhadapan dengan pemikiran-pemikirannya. Penjara imajinasi ini mengkondisikan Cak Nur laksana Tuhan bagi agama HMI. Ia bersabda di puncak gunung dan umat di bawahnya cuma mengaminkannya. Fobia kritik dijadikan alasan utama melarang dan menghakimi orang agar berbuat hal yang sama sebagaimana dirinya.

Padahal, NDP bukan tafsir kitab suci, juga bukan kumpulan hadis. Orang lupa, Cak Nur yang membuat draft NDP di periode 69-an berbeda dengan Cak Nur millenium baik dari sisi usia, intelektualitas, pengalaman dan lain-lain. NDP merupakan sebuah cara pandang Islam ala Cak Nur muda, yang ekstremnya, belum tentu benar. Repotnya, kader HMI sulit memahami evolusi pemikiran seseorang yang dapat berubah seiring waktu, kontemplasi, dan kedewasaan. Adalah hal biasa pemikiran masa lalu tidak lagi sesuai dengan pemikiran masa kini. Tidak ada alasan untuk takut mengkritik Cak Nur muda.

Mengkritisi NDP tidak ada hubungannya sama sekali dengan penghormatan kepada Cak Nur. Cak Nur tetap kita hormati dan terhormat dengan sendirinya ketika pemikiran-pemikirannya turut memperkaya khazanah pemikiran Islam Indonesia. Cak Nur adalah sedikit tokoh yang pemikiran brilyannya didengar betul oleh paling tidak 4 presiden mulai dari Suharto sampai Gus Dur.

Bias Figur dalam Kerja Kolektif

Kedua, bias personalisasi dalam realitas kolektif. Sesungguhnya perumusan NDP dihasilkan dari kerja kolektif, bukan individual. Beberapa bagian NDP jelas dikerjakan oleh kader muda HMI lainnya, seperti Endang Saefuddin Anshari, Saqib Mahmud, M Dawam Rahardjo dan yang lain. Bukan tidak mungkin terjadi benturan ide dan paradigma satu sama lain. Penguapan konsistensi ideologi dapat berbanding lurus pada wilayah ini.

Ketiga, pada saat itu, arus pemikiran keislaman disemarakkan oleh pertentangan yurisprudensi simbolis antara berbagai organisasi Islam tradisional dan modernis; di sisi lain, terbatasnya wacana keislaman alternatif dan referensi —ditandai dengan sangat minimalnya peredaran buku-buku pemikiran keislaman berbahasa Indonesia— turut memainkan peranan yang tidak sedikit pada gaya bahasa, kedalaman bahasan dan kelengkapan tema NDP. Apalagi saat itu HMI sedang berada pada dua arus besar konflik politis-ideologis, dengan CGMI, dan rezim transisional dari Orla ke Orba.

Dengan seluruh fenomena di atas, wacana-wacana keagamaan alternatif —yang mungkin bukan sesuatu yang “luar biasa” di masa kini— seperti mendapat momentum. Pemikiran-pemikiran radikal, Ahmad Wahib misalnya, menjadi sesuatu yang wah diperhadapkan dengan pemikiran keislaman konvensional saat itu.

Pada posisi inilah kita dapat mencoba memahami mengapa dalam suatu kurun waktu yang panjang, NDP menjadi sesuatu yang khas dan sulit untuk dikoreksi. Keterjagaan momentum ini, secara alamiah, terus “dilestarikan” dengan semakin gemilangnya tokoh-tokoh perumus NDP dalam konstelasi pemikiran sosial keagamaan di Indonesia. Hal berbeda mungkin akan kita temukan seandainya para perumus NDP berevolusi sebagai orang-orang kebanyakan sehingga tidak populer.

Akhirnya, kita juga paham mengapa banyak kader tidak memahami naskah NDP, meskipun membaca berulang kali. Ketidakmengertian dinisbahkan pada kebekuan intelektual mereka dan bukan pada naskahnya. Setiap kali selesai membaca yang berakhir dengan kebingungan, setiap kali itu pula kader seakan berkata bahwa ia ternyata begitu bodoh. Dan masih saja bodoh meskipun telah membaca referensi-referensi lainnya.

Pengapuran Intelektualisme

Keempat, pengapuran intelektualisme, akibat semakin menggejalanya wacana politis praktis ketimbang intelektualisme. HMI yang menang perang bharatayudha melawan PKI/CGMI dan anasir Orla lainnya seperti ketiban pulung. Gelombang besar mahasiswa yang mendaftar sebagai kader HMI baru pasca Orla ternyata tidak berdampak signifikan pada pembaruan dan pematangan teologis. Memang format dan materi perkaderan senantiasa terus berkembang, tapi semua itu tidak dibarengi dengan peninjauan ulang seluruh nilai yang menjadi landasan ideologis HMI.

Perkembangan struktural konstelasi politik dan kesibukan lainnya membuat kader-alumni HMI boleh dikata tidak dapat lagi mencurahkan sedikit perhatian kepada materi-materi utama perkaderan yang mendasar. Bahkan fenomena bombastis di atas dijadikan salah satu alasan untuk tidak menoreh tinta merah pada materi ideologi. Apalagi yang harus diutak-atik, kalau dengan keadaan sekarang saja HMI sudah dapat besar, kader-kadernya banyak yang sudah jadi orang dan menjadi motor di banyak wilayah strategis?

Alih-alih memperbarui, keberadaan NDP diperkokoh dengan polesan dalil-dalil ayat suci sebagai lampiran untuk mencuatkan dimensi keagamaan naskah tersebut. Kongres diadakan sebagai legitimasi naskah. Padahal, perangkat hukum yang menopang bagi kemungkinan diadakannnya sebuah rekonstruksi naskah ideologi sudah cukup memadai.

Lengkaplah sudah mistifikasi NDP. Ia merupakan naskah suci, sakral sehingga anti kritik. Padahal, sakralisasi pada segala sesuatu selain Allah adalah praktik kemusyrikan.

Mengawali Rekonstruksi

Sebagai nilai dasar perjuangan, NDP membutuhkan unsur-unsur penyempurna bagi tumbuhnya sebuah ideologi/paradigma/filsafat hidup/pandangan dunia: Sistematika yang jelas dalam penalaran rasional (filosofis), kemudahan aplikasi teori praktis (sosiologis), efek perubahan individu dan masyarakat.

Penguatan dimensi kemanusiaan yang ada di NDP jelas membawa dampak signifikan. Di satu sisi ia membawa dengan genial pesan-pesan peradaban, agar kader HMI tidak gamang dan takut menghadapi perubahan zaman. Di sisi lain, materi NDP menjauh dari pendekatan filosofis, sesuatu yang selayaknya menjadi titik sentral ideologi. Pendekatan sosiologis membuat Islam ditampilkan sebagai ‘Kehadiran’ yang mendahului ‘Kebenaran’, dasar teologi Kristen, bukan ‘Kebenaran’ mendahului ‘Kehadiran’.

Aspek filosofis di NDP, kalaulah ada, juga berputar-putar pada paradigma Calvinian. Kerancuan aspek filosofis dan sosiologis ketika berhadapan dengan teologi membuat kader semakin percaya bahwa tiada keterkaitan sama sekali antara ruang publik (rasionalisme) dan ruang privat (keimanan). Alih-alih mewartakan kebenaran Islam, pemberian materi NDP menggiring kader pada paradigma Kristen (pada Bab Ketuhanan, Bab Kemanusiaan dan Bab Ilmu Pengetahuan) dan Marxian (pada Bab Individu-Masyarakat dan Bab Keadilan Sosial Ekonomi).

Kesenjangan inilah yang menyebabkan mengapa instruktur NDP cenderung berbeda visi dan pemahaman satu sama lain. Ketidakmampuan memahami konteks historis yang melatarbelakangi perumusan NDP; ketidakmampuan memahami paradigma yang dipakai para perumus; ketidaktahuan batasan liberalisasi NDP; kurangnya referensi perbandingan dalam memahami NDP; dan kurangnya ilmu alat yang dimiliki pemateri NDP dapat dijadikan kambing hitam susulan.

Efeknya, sebagian pemateri NDP, terutama pada LK I, membawa materi seperti pengajian yang monolitik dan dogmatik. Alih-alih menggiring kader menuju kesadaran teologis, instruktur malah membuat kader terhalusinasi pada ghirah kebablasan.

Pemateri NDP cenderung membawa materi dengan paradigmanya masing-masing. Cak Nur difitnah untuk membenarkan keyakinan pemateri. Perlu dicurigai bahwa banyak pemateri yang belum bersentuhan dengan pemikiran-pemikiran Cak Nur dan studi banding dengan referensi lain yang berhubungan. Di sisi lain, studi kritis NDP dimentahkan oleh alasan bahwa segala penjelasan tentang nasklah ideologi tahun 1969 telah ada di buku-buku Cak Nur yang baru beredar tahun 1990an. Ini tidak logis. Tiada relevansi apa pun antara buku Cak Nur dengan NDP qua NDP.

Nampaknya banyak pihak yang tidak bisa membedakan dengan jernih antara rekonstruksi dan dekonstruksi. Sedari awal tulisan ini hanyalah kritik terhadap pondasi bangunan NDP Cak Nur yang lebih nampak sebagai ‘Natsir Muda’. Namun penulis tetap yakin bahwa nilai-nilai pengubah/perbaikannya masih dapat dilihat pada evolusi pemikiran Cak Nur setelah ia semakin kosmopolit dan universal.

Pada tingkat struktural, bias ideologi berkembang semakin kompleks ketika organisasi dituntut agar memberikan kejelasan arah kaderisasi. Pada satu aspek HMI telah berhasil membentuk kader yang mempunyai karakter ideologis tertentu. Namun pada aspek lain, sebagaimana telah diterangkan di atas, HMI boleh dikata telah gagal membentuk format keislaman yang utuh.

Menjawab keparsialan NDP, instruktur yang mempunyai dalil kuat untuk menolak isi materi NDP Cak Nur bermain dengan kerangkanya sendiri. Pada aspek dinamika intelektual, ia layak diacungi jempol karena mampu membuat sebuah konsep alternatif. Pada aspek struktural, ia dikategorikan menyimpang dari kurikulum baku dan melanggar aturan main organisasi. Apalagi yang ‘didekonstruksi’ adalah materi ideologi.

Menyusun Agenda Rekonstruksi
Niat awal yang melandasi pembuatan rekonstruksi ini adalah bagaimana kita melihat wacana perubahan dalam menatap (naskah) ideologi. Biarkanlah semua pihak menimbang NDP dengan sudut pandangnya masing-masing. Toh semuanya akan dinilai secara objektif lagi proporsional untuk mencari yang terbaik. Dari mana pun datangnya hikmah itu. Yang penting, tidak boleh ada satu pun wilayah yang bebas kritik. Namun hendaknya perlu diingat bahwa sebuah rumusan ideologi senantiasa berisi konsep-konsep umum, bukan semacam juklak atau juknis.

Sudah barang tentu setiap draft tidak boleh disebut sempurna. Masih banyak hal yang perlu dikoreksi, diperjelas dan disempurnakan. Masih banyak tema dan bahasan yang perlu ditambah. Draft rekonstruksi ini juga tidak menafikan keberadaan draft lain yang dibuat oleh perorangan dan/atau institusi lain. Semakin banyak konseptor akan semakin baik. Maka dari itu, sangat disayangkan apabila ada pihak yang menganggap rekonstruksi diarahkan atau dimonopoli oleh seseorang/kelompok tertentu.

Satu hal lain yang perlu dicermati adalah keberadaan senior/instruktur ideologi di daerah masing-masing. Lepas dari kadar keilmuan masing-masing, menurut penulis, mereka layak dikunjungi untuk dimintakan urun rembuknya. Biar bagaimana pun, mereka punya kontribusi tak ternilai bagi perkaderan HMI secara nasional.

Dengan iklim politis HMI yang kental, keterlibatan mereka akan menguatkan rekonstruksi secara konseptual dan faktual, sehingga tidak akan ada ungkapan sinis kepada perekonstruksi, “Anak kemarin mau menandingi Cak Nur?” tentu kita sudah tahu kesalahan logika dari ungkapan melankolis tersebut. Namun dalam ‘dunia politik’ HMI, ketidaksetujuan sebagian kalangan bisa menjadi duri. Alih-alih bicara ideologi, praktiknya adalah saling jegal setiap ide baru. Bukan rahasia, banyak pihak yang tidak setuju atas ide rekonstruksi NDP hanya karena dirinya tidak merasa dilibatkan dalam perumusannya.

Membentuk Tim

Sebuah usulan konseptual cenderung mudah diterima ketika hadir sebagai sebuah kebutuhan kolektif dalam suasana yang kondusif. Pada kondisi yang tidak tepat sebuah tawaran alternatif dari segelintir individu dan/atau institusi, misalnya menjelang suksesi, dapat didramatisasi-dipolitisasi-dinilai secara a priori.

Untuk mengantisipasi hal tersebut, sebuah tim yang mengakomodasi seluruh perumus dari level komisariat hingga PB perlu dibentuk. Rumusan-rumusan yang terseleksi secara konseptual ini (seleksi I) sebaiknya diuji coba dalam sebuah pilot project yang akan dievaluasi dalam forum khusus (seleksi II) dan diuji kembali (seleksi III). Setelah konsep ini utuh, draft rekonstruksi NDP dapat diajukan dalam Kongres mendatang.

Dengan demikian, gerakan rekonstruksi NDP dapat dilakukan dengan gerakan kultural dan struktural. Pada satu sisi kita mengikuti ketentuan dan hierarki organisasi dengan keputusan akhir tetap di Kongres. Di sisi lain penguatan basis (komisariat/korkom/cabang) tetap dilakukan. Tanpa basa-basi birokrasi, internalisasi NDP dapat dilakukan sedini mungkin. Praktik ini secara alamiah pula dapat dianggap sebagai proses pembentukan Lembaga Pengelola Latihan (LPL) di setiap insitusi cabang, kalau memang belum ada.

Pasca rekonstruksi ideologi, kita perlu juga memikirkan rekonstruksi perkaderan mengingat perubahan materi berimplikasi signifikan pada pembumian materi. NDP yang selama ini diformat dalam satu naskah dapat dikembangkan menjadi tiga naskah dengan titik fokus dan berat yang berbeda mengikuti tingkatan perkaderan formal: basic (LK I), intermediate (LK II) dan advance (LK III).

Merangkai Mimpi

Itu harapan idealnya. Jangan berharap banyak bahwa pada akhir pelaksanaan rekonstruksi berikut segala pelatihan percontohannya akan menghasilkan kader-kader yang menjadi pemikir tercerahkan (rausyan fikr). Eksplorasi wacana ini bukanlah indoktrinasi mekanis seperti yang dilakukan banyak harakah, yang mengalami split personality, menuhankan dirinya karena bingung membedakan pendapatnya dengan ayat-ayat Tuhan yang ditentengnya ke sana ke mari. Juga bukan seperti kebanyakan aktivis rasialis himpunan mahasiswa yang mengalami post-power syndrome, menganggap kebenaran hanya datang dari duli senior.

Pada dirinya sendiri, NDP bukanlah himpunan peraturan operasional yang menawarkan tindakan praktis. Tidak seperti materi-materi informatif lainnya, materi NDP kering dan abstrak sehingga tidak menarik minat banyak kader untuk mengkajinya. Dengan demikian, adalah hal wajar kalau hanya ada segelintir orang yang berhasil tersaring, syukur-syukur menjadi pemateri, dari ramaian peserta kajian atau pelatihan.

Setelah seluruh aktivitas rekonstruksi ini berjalan, boleh kita bermimpi tentang terbentuknya kader yang dapat menggabungkan pengetahuan tradisional dan modern; yang menghimpun nilai-nilai kebijakan secara harmonis. Kader seperti ini tiada pernah meninggalkan dan melupakan dimensi transenden; mempunyai pemahaman yang integral seputar diri/manusia-alam-Tuhan; tidak mudah terseret pada paradigma politis, serta tidak mudah terhegemoni oleh negara. Boleh kita mengharap kader yang menjadi cahaya, yang terang dengan sendirinya dan menerangi segala sesuatu di luar dirinya. Rekonstruksi ideologi adalah sebuah tindakan wajar sebuah organisasi kader ketika ingin mereposisi diri pada dunia yang terus berubah. [andito]
baca tulisan ini lebih jauh