makna kemerdekaan bagi kita yang tak saling mengenal satu sama lain


beberapa hari yang lalu saya ke kampus lebih pagi. Tentu saja yang saya maksud dengan lebih pagi adalah jam tujuh pagi (saya yakin, standar pagi anda dan saya pasti berbeda). melewati ruas-ruas jalan di kota ini lebih pagi dari biasanya, saya jadi punya cukup waktu dan punya cukup semangat untuk melihat ke samping kiri-kanana jalan. Wah, sepertinya ada yang berbeda. Walaupun sebenarnya sayaa bukanlah tipe orang yang suka memperhatikan lingkungan sekitar, saya tetap mudah untuk mengetahui ada yang berbeda. umbul-umbul merah putih dipasang di pasang di samping jalan, di depan rumah-rumah warga, depan toko, depan kantor, sekolah, juga pohon-pohon di samping jalan dililiti kain merah putih. Ini bulan agustus? ya, aku baru sadar, ini bulan agustus.

Berbeda, tapi mungkin bagi kita yang tiap hari selama bertahun-tahun melewati jalan yang sama, gang yang sama, terasa tak ada yang istimewa. Toh, bulan agustus kita lewati tiap tahun, toh tak ada yang istimewa bagi kita di bulan agustus ini selain acara-acara TTv jadi lebih banyak menayangkan film-film perang jadul dan konser kemerdekaan serta kita dapat tontonan lawakan gratis selama beberapa hari : mulai dari menyaksikan ibu-ibu tetangga lomba makan kerupuk yang digantung, pemuda-pemuda tetangga mulai dari yang paling gemulai sampai yang paling berotot main bola pakai daster, sampai tontonan-tontonan gratis lainnya yang bisa kita saksikan, gratis!(setidaknya saya dapat hiburan, terakhir saya sempat liat perayaan tujuh belasan waktu kelas 1 SMA)

Setelah itu, apa yang terlewat dari peringatan tujuhbelasan yang kita gelar tiap tahun? Karena setelah tujuh belasan itu saya tetap ke kampus dengan rutinitas, perasaan, dan kebosanan yang sama. bu ira setelah dapat hadiah mini tape dari hasil juara lomba lari karung, besoknya tetap ke ngutang ke warung buat makan anak-anaknya seperti biasa, Pak Hasan setelah dapat honor drai menyiapkan panggung perayaan tujuh belasan, minggu berikutnya tetap nongkrong di pos ronda minum kopi smabil main catur sama teman-temannya karena mereka kembali nganggur (lagi-lagi seperti biasa), dan kain merah yang meliliti pohon-pohon di pinggir jalan akan dibiarkan lumutan sampai akhirnya diambil jika warna putihnya sudah berubah jadi kuning kecoklatan. jadi, di mana letak istimewa perayaan kemerdekaan?

********

Tadi pagi, selesai mandi, saya ikut melayat ke rumah Pak Dani, tetagga yang kemarin baru aja meninggal. Hari ini hari libur, jadi saya masih punya waktu buat melayat. Yang hadir rata-rata cuma tetangga-tetangga dan keluarga dekat almarhum. Ketemu orang-orang di sana, saya baru sadar ternyata sebagian besar dari orang-orang itu, tetangga-tetangga saya itu, baru saya kenal dari hasil nonton lomba semarak tujuhbelasan kemarin.

Setengah mengutuki diri sendii, saya bertanya dalam hati, kemana saja, saya selama ini? Bukankah di sini saya sudah tinggal sejak pertama kuliah. Sudah dua tahun, lebih tepatnya dua tahun dua bulan. Dan orang-orang ini baru sya kenal kemarin? saat lomba tujuh belasan....

*********

Saya pulang ke rumah. Saya baru sadar, dari perayaan-perayaan tujuh belasan kemarin, ada sesuatu yang bisa kita maknai sama-sama: Saling mengenal! Di tengah-tengah kesibukan masyarakat kota yang apatis dan oportunis, akhirnya kita punya sebuah wahana (setidaknya sekali dalam setahun) untuk kita (orang-orang kota yang kehilangan lingkungannya) untuk saling bertemu, saling menyapa, saling mengenal, Walaupun dengan sikap sama-sama malu-malu (bayangkan saja, rumah kita hanya berbatasan tembok, dan kita hanya sempat saling menyapa paling banyak sekali sebulan!)

Sebuah bangsa dibangun dari sebuah masyarakat dan sebuah masyarakat dibangun dari interaksi-interaksi manusianya. Jika kita tak pernah lagi membangun interaksi, bahkan dengan tetangga terdekat kita, bagaimana kita bisa merasa sebagai sebuah bangsa?

di tengah keriuhan tarik tambang, saya bisa mengenal pak bambang, pak dani, dg. Tutu, dg. Jani, dan yang lainnya, orang-orang yang melihatnya pun saya masih ragu, apakah pernah bertemu dengan mereka sebelumnya. Saya bisa kenal dari pak darso, ketua RT yang ternyata gokil abis, kontras dengan badannya yang besar sampai si Santi panitia lomba karaoke yang lumayan cantik. Di momen-momen seperti inilah akhirnya interaksi dibangun, dan hebatnya lagi, interaksi itu dibangun dalam suasana kemerdekaan...

Inilah makna perayaan kemerdekaan yang sesungguhnya. Setidaknya bagi saya yang tak pernah paham menerjemahkan kata-kata nasionalisme, patriotisme, heroisme, dan isme-isme lainnya yang marak muncul di TV-TV dan koran-koran belakangan ini.
Jayalah Indonesia!!!
merdeka!!!
2 Responses
  1. _NimbUs_ Says:

    hmmmm....
    sy pribadi jg terus terang bru kembali bnar2 merasakan perayaan agustusan tahun ini...
    stlah bbrp tahun yg lalu..
    saat qta msih dduk di bangku sekolah, saat scra tdk sngaja qta sdh pasti terlibat dlama perayaan 17an..
    entah bertugas jd penggerek bendera, jd peserta gerak jalan, atw hanya skdar jd beseng2 dalam lomba kebersihan kelas..hehe..

    setelah kuly,17an u/sy tak lebih dr sebuah tanggal merah yang sangat disyukuri kdtngannya krna mmbrikan hari libur tambahan di tengah penatnya kuly (sok2 penat,gtw...hee)

    bru tahun ini kmbli terdengar ramainya suara peserta lomba tarik tambang, lari kelereng, dll berbagai jenis lomba 17an lainnya..sibuk2 saat persiapan lombanya, menyewa umbul2 (maklum..di desa umbul2nya pke disewa dulu)..
    itupun hnya krna kebetulan dalam rangka sedang kkn pula..hehe...


  2. Unknown Says:

    yah... alhamdulillah k ika, akhirnya ada juga gunanya KKN..

    k ika, mana traktirannnya????
    kenapa nabis KKn n wisuda ga ada acara syukuran?