Maafkan aku jika tak kuat menahan tangis....

"Tubuhmu makin lemah, aku tak yakin kau mampu bertahan lebih lama..."

Telah belasan musim kita lewati dalam ringkih hari-hari yang makin menipis. Kita sama-sama tahu tubuhmu tak kan bertahan hingga musim baru tiba. Setiap aku bangun di pagi hari, aku akan bersyukur karena masih diberi (setidaknya satu hari) bersamamu. Kau tahu? kalau bukan karena aku tak ingin membuatmu tersinggung, akan kuajak kau menghabiskan sisa musim yang kita punya dengan bermain ski di alpen, menjelajahi sungai-sungai di venesia, atau menyusuri kebun-kebun tulip di eindhoven...

"Ya, aku tahu. Setelah aku pergi, kau akan hidup bahagia dan jadi periang, kan sayang?"

hari-hari makin menipis dan beberapa hari terakhir kau mulai rajin memandangi tanggal-tanggal di kalender. Kadang-kadang kau membuka album foto-foto usang yang telah bertahun-tahun tak kita sentuh. Kau bahkan memintaku menemanimu mencari foto berdua kita yang pertama (seingatku itu telah belasan tahun yang lalu), yang ternyata kau masih simpan tepat di balik foto pernikahan kita. Beberapa minggu ini kau bahkan melingkari setiap hari yang kita lewati, yang ketika kutanya alasannya kau menjawab kau ingin pergi dengan membawa kenangan indah tentangku sebanyak mungkin. Aku menangis, dan kau marah. kau tak suka aku menangis.



"Tentu tidak! Aku tak dapat membayangkan hidupku tanpa kau!"

Sepeninggalmu aku ragu, tak ada lagi yang sempat mengingatkanku untuk sejenak melupakan antrian pasien di klinik, telfon dari perusahaan farmasi, atau berkas-berkas laboratorium yang menumpuk di meja kerjaku untuk sejenak kita menikmati sekedar teh manis di beranda belakang rumah, atau kadang-kadang matahari sore, atau kadang-kadang kau mengajakku berjalan di sepanjang taman di halaman yang karena itu semua aku punya alasan untuk bertanya, apakah ada hidup yang lebih sempurna dari ini?

"Tidak, aku tak ingin setelah aku pergi, kau menjadi lelaki cengeng dan merana..."

Aku masih ingat, beberapa tahun lalu, ketika pertama kalinya aku tahu, bahwa ada yang salah dengan tubuhmu, aku tak mampu menatap wajahmu lama-lama seperti biasa (walau sebenarnya aku ingin). Aku takut semakin banyak kenangan yang kau tinggalkan di memoriku, semakin berat bagiku untuk membiarkan kau beristirahat dengan tenang. Lalu ketika kau tahu itu, kau mengajakku menyusuri langit bulan desember mengajariku tentang arti dari sebuah kepergian

"Bagaimana bisa? sedangkan kau pemilik tawa dan senyumku?"

Tak ada yang mampu membuatku tersenyum di sepanjang musim ini selain tingkahmu yang kadang-kadang kuanggap terlalu garing untuk wanita secerdas kau. Kadang-kadang bebeberapa hari dalam sebulan kau memaksaku untuk menemanimu menyusuri taman ilalang belakang rumah, mengumpulkan ranting-ranting yang patah lalu kita bakar di sepanjang malam, hanya untuk membuatku yakin bahwa kau masih kuat, dan aku tak perlu takut atau menangis...

"ayolah... kau harus berjanji kau tak boleh menangis sepeninggalku..."

Aku berjanji. Tapi aku meminta izin untuk menangis kali itu. untuk yang terahir kalinya. Aku menangis, dan kau memelukku. erat. lalu kau melakukan satu hal yang tak pernah kau lakukan. Apalagi di hadapanku. Kau juga menangis.
2 Responses
  1. Amey Says:

    bagaimana bisa?
    sedangkan kau pemlik tawa dan senyumku..??

    ah..fadlan...
    sy suka skali ceritamu ini...
    air mataku hampir2 menetes...

    terbayang org yg sgt kusayangi mengalami hal seperti itu...

    tp jd wanita mmg mnyenangkan...
    bisa menangis kapan saja, dimana saja, dan akan slalu ada bahu yg bersedia menopang kesedihan itu.
    (jd ingat seseorg...hehe...)

    sdhlah, keep on writing y!


  2. Unknown Says:

    u know?
    kata-kata itu adalah kata-kata yang real..

    ngomong2 masalah menangis, lu baca tulisan gue yang di atas...