Fundamentalisme dan keterasingan manusia

Mendiskusikan fenomena fundamentalisme belakangan ini, utamanya di Indonesia merupakan suatu hal yang sangat-sangat sensitif. keseleo bicara sedikit saja, akibatnya bisa sangat fatal. Sedikit salah bicara akan menimbulkan gejolak kontroversif, salah-salah malah akan menimbulkan mispersepsi pemahaman agama. Beberapa tahun belakangan, utamanya sejak runtuhnya orde baru, fundamentalisme, uatamanya fundamentalisme keagamaan, menurut pengamat, tumbuh subur di Indonesia. Beberapa peristiwa kemarin, yang melibatkan kelompok keagamaan tertentu, menjadi isu hangat di media-media nasional. Peristiwa-peristiwa tersebut dihubungkan dengan merebaknya gejla fundamentalisme agama di masyarakat.

Ya, diskusi tentang fundamentalisme memang sangat dekat dengan dialog keberagamaan, karena fundamentalisme-walaupun praktiknya tidak hanya terbatas pada masalah-maslah keagamaan- namun paling banyak menyerempet masalah agama. Sebenarnya apa yang menyebabkan fundamentalisme itu bisa tumbuh subur di Indonesia? dana mengapa fundamentalisme cenderung dikaitkan dengan kelompok agama tertentu?

Menurut Karen Armstrong, dalam bukunya war for god, fundamentalisme lahir akibat dari badai modernitas dan globalisasi yang agresif sehingga memporak-porandakan pemahaman dunia lama agama-agama. Modernitas dan globalisasi bekerja dengan begitu cepat, menciptakan jurang sosial, ekonomi, dan sosial yang dalam, serta melahirkan ketimpangan yang menyakitkan. Hal ini menyebabkan manusia-manusia yang hidup di abad modern merasa terasing (teralienasi) dari dunia mereka, dan satu-satunya tempat dimana mereka bisa menemukan tempat pelarian dari gerusan modernitas yang agresif adalah agama.

Di Indonesia, memang yang paling kentara, adalah fundamentalisme islam, padahal sebenarnya fundamentalisme ada dalam semua agama. Fundamentalisme juga ada dalam agama kristen, katholik, hindu, budha, bahkan dalam kepercayaan primitif animisme sekalipun. Yang menjadi masalah adalah selama ini kita hanya menghakimi orang-orang yang kita sebut "fundamentalis" begitu saja tanpa pernah mau mencari akar masalah dari munculnya "fundamentalis-fundamental
is" tersebut. Kita bahkan sering kali begitu saja menganggap sama antara fundamentalis dengan terroris! Ini sama seperti kita hanya menangkap pencuri tanpa mau tahu, kenapa masih ada orang yang kelaparan hingga mau mencuri.

Yang kita perlukan ke depan, adalah ruang-ruang diskusi dan sistem proteksi terhadap hegemoni barat yang destruktif, yang bisa menjamin bahwa tak ada lagi pengalienasian manusia dari kehidupannya.
0 Responses