Budaya Menulis di FK

Budaya membaca dan menulis dalam dunia kemahasiswaan dan dunia akademis perguruan tinggi merupakan suatu keniscayaan. Tradisi akademik mahasiswa dan kesadaran intelektual menyebabkan budaya dan kesadaran literatur* mahasiswa jauh lebih tinggi dibanding dengan jenjang akademik maupun profesi lain.
Dalam dunia akademik, mahasiswa kedokteran (sepanjang yang saya lihat) adalah kalangan mahasiswa yang paling tinggi intensitas membacanya. Selain karena tuntutan akademik yang memang mengharuskan seperti itu, hal ini juga disebabkan karena mahasiswa-mahasiswa di fakultas kedokteran cenderung (lagi-lagi subjektif) adalah lulusan dari SMA-SMA favorit dengan tradisi membaca yang lumayan bagus. Tradisi membaca mahasiswa di FK ini seharusnya menjadi sebuah modal yang bdesar dalam mengembangkan dunia tulis-menulis (baca:dunia literatur) di FK.

Namun, yang perlu saya ungkapkan adalah bahwa dalam hal dunia kelembagaan mahasiswa, tradisi membaca mahasiswa di fakultas kedokteran masih sangat kurang. jika dibandingkan dengan teman-teman mahsiswa di fakultas lain, tradisi membaca literatur-literatur pergerakan mahasiswa di fakultas kedokteran masih sangat jauh ketinggalan. Cobalah bertanya kepada teman-teman mahasiswa fakultas kedokteran, buku-buku apa yang mereka sealalu baca tiap hari! jawaban yang akan anda terima tidak akan jauh-jauh dari seputar buku anatomi sobotta, Biokimia Harper, patologi robbins, Guyton, Harrison dan buku-buku kedokteran lainnya. Coba tanyakan apakah mereka pernah membaca buku-buku bacaan dari penulis-penulis pergerakan yang notabene merupakan bacaan wajib bagi mahasiswa semacam Sayyid Quthb, Pramoedya Ananta Toer, Eko Prasetyo, fajroelrahman?
memang, mahasiswa tidak murni patut disalahkan atas fenomena ini. Ada banyak variabel yang mempengaruhi. Jadwal akademik yang begitu padat, yang sampai mencerabuti mahasiswa dari budaya-buadaya intelektual semacam diskusi, kajian, membaca ataupun menulis. Belum lagi kegiatan-kegiatan kemahsiswaan hari ini, harus kita akui semakin jauh dari budaya-budaya literer. kegiatan-kegiatan kemahasiwaan yang mendominasi dunia kemahasiswaan kita sebagian besar adalah kegiatan-kegiatan event organizerisme.
Di fakultas kedopkteran (unhas) sendiri, saya melihat ada potensi besar dalam dunia literatur dan tulis menulis. ada lembaga pers mahasiswa Sinovia, yang mewadahi mahasiswa yang berminat di dunia penulisan dan pers. Kemudian ada MYRC (medical Youth Researcher Club) untuk penulisan ilmiah dan jurnal bekala. Cuma, dibandingkan dengan lembaga penulisan, pernerbitan atau lembaga pers mahasiswa lain, LPM sinovia masih dirasa kurang mewakili suara mahasiswa, yang akhir-akhir ini menunjukkan progresivitas. mungkin kita bisa melihat lembaga-lembaga penulisan lain di tingkat universitas yang lebih progresif dan berani.
Sebenarnya, lembaga internal (dalam hal ini Badan Eksekutif Mahasiswa) diharapkan menjadi pihak yang bisa menstimulasi budaya menulis mahasiwa di fakultas kedokteran. jika kita mau melihat keluar, lembaga kemahaisswaan di beberapa fakultas lain, baik bem maupun beberapa himpunan mahasiswa menjadikan budaya membaca sebagai bagian dari prosesi pengakaderan di lembaga mereka. Dalam proses pengkaderan di beberapa lembaga kemahasiswaan tersebut, kajian literaturtmerupakan sebuah proses pengakderan yang wajib diikuti oleh caloan anggota lembaga. Hanya, memang agak sedikit rumit, ketika kita berusaha menjadikan kesadaran menulis sebagai bagian dari proses pengkaderan, jika mahasiswa (termasuk pengurus lembaga sendiri) memiliki kesadaran literatur yang rendah.

Adalah sebuah tugas berat, bagi tidak hanya lembaga pers, tapi juga setiap lembaga internal untuk menumbuhkan kesadaran literatur di fakultas ini. Kajian buku kontemporer, bedah buku, diskusi terbuka mengenai buku-buku kontroversi hendaknya menjadi bagian dari prosesi pengkaderan di lembaga kemahasiswaan di fk.
baca tulisan ini lebih jauh

Dewasalah...

minggu ini dunia dikejutkan dengan sebuah peristiwa bersejarah di Thailand. Rakyat Thailand yang dipelopori oleh Aliansi Rakyat untuk demokrasi (PAD, partai oposisi Thailand) berhasil menggulingkan pemerintah yang dipegang oleh perdana menteri Somchai. Setelah delapan hari mengepung bandar udara internasional Suvarna Bhumi dan bandar udara Dong Muang, Para demonstran akhirnya berhasil memaksa mahkamah konstitusi Thailand untuk melengserkan Perdana menteri dari kekuasaannya, sekaligus membubarkan koalisi partai berkuasa. Melihat ribuan rakyat Thailand yang berseragam kuning emas (simbol kerajaan Thailand), jadi terkenang reformasi 1998. Kapan ya, para anak muda (dengan berbagai warna almamater) bisa kumpul lg kayak begitu?

Yang menarik adalah, terlepas dari tuduhan demonstran bahwa perdana menteri dan partainya adalah kaki tangan dari perdana menteri sebelumnya (yang korup dan nepotis), sikap sang perdana mementeri ini yang tetap tenang dan menerimakeputusan mahkamah konstitusinya dengan legowo dan iwa besar. Ketika perdana menteri somchai serta seluruh pengurus partai dikenai larangan berpolitik selama 5 tahun, mereka tidak bersikap reaktif. tidak ada kata-kata perlawanan, tidak ada kata-kata menolak. Mereka tidak merasa kehilangan segalanya..

Coba dengarkan apa yang dikatakan oleh perdana menteri Somchai yang dilengserkan dari tahtanya, "Tidak masalah, saya senang tanggung jawab saya selesai, kini saya akan menjadi rakyat biasa, menjadi warga negara biasa". Inilah negarawan yang sesungguhnya, ketika mereka kehilangan jabatan, mereka tidak lantas mencak-mencak, dan berusaha mati-matian mempertahankan jabtannya. Coba bandingkan dengan apa yang terjadi di negara kita hari ini. Masih ingat ketika Presiden Gusdur begitu panik ketika diinterpelasi oleh DPR, lalu dengan seenaknya mengeluarkan dekrit membubarkan DPR? atau ketika Demonstrasi besar-besaran tahun 1998, sOeharto dengan biadab memerintahkan membubarkan mahasiswa dengan peluru?

Kedewasaan berpolitik di negeri kita betul-betul memiriskan. Budaya politik masih identik dengan kekerasan, pengerahan massa dan pembodohan. Coba lihat arena pilkada atau pemilu, mana ada pilkada atau pemilu di Indonesia yang berlangsung damai? Apa ga malu sama amerika yang setiap hari kita hujat karena katanya biadab dan tiran? Di amerika, walaupun obama dan mcCain saling serang dan saling kritik dengan keras, tapi sampai saat ini saya belum pernah mendengar ada bentrokan gara-gara pemilu di amrik, seperti yang lazim terjadi di Indonesia.

Bahkan pemilu amerika tahun ini, yang katanya rawan konflik SARA (Obama bekulit hitam, sedangkan mccain berkulit putih), sama sekali tidak ada konfilik horizontal yang terjadi. Saya bukannya mau mengatakan kita harus mencontoh AMerika , atau Thailand, ataupun negara-negar barat lainnya, tapi apa kita tidak malu, sebagai bangsa yang mengklaim dirinya bangsa yang beradab dan menjunjung tinggi sopan santun?

Kita telah menjadi bangsa yang merdeka selama lebih dari 63 tahun, tapi anehnya mengapa masih banyak orang-orang di negeri ini (ironisnya lagi, mereka itu adalah oramg-orang yang dianggap sebagi pemimpin) yang belum bisa dewasa dalam berpolitik?

tanya kenapa?
baca tulisan ini lebih jauh